Hotline 021-726-2000
Informasi lebih lanjut?
  • Paket Umrah 9 Hari
    Umroh Syaban 21 April 2024 | Mulai dari Rp. 26 jt - by Qatar
    Paket Umrah 9 Hari
    Umroh Syawal 17 April 2024 | Mulai dari Rp. 25,9 jt - by Qatar

NGAJI JUM’AT, 15 Desember 2023

Di Antara Keutamaan dan Adab Membaca Al-Quran

Oleh : H. Muh Abdul Ghofar

 

وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارًا

Dan Kami turunkan dari Al Quran sesuatu yang menjadi penawar (obat) dan rahmat (Kasih Sayang) bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim (aniaya) selain kerugian. (QS. Isra [Perjalanan Malam] 17 : 82)

قُلْ اُوْحِيَ اِلَيَّ اَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِّنَ الْجِنِّ فَقَالُوْٓا اِنَّا سَمِعْنَا قُرْاٰنًا عَجَبًاۙ ، يَّهْدِيْٓ اِلَى الرُّشْدِ فَاٰمَنَّا بِهٖۗ وَلَنْ نُّشْرِكَ بِرَبِّنَآ اَحَدًاۖ

(1) Katakanlah (Muhammad), “Telah diwahyukan kepadaku bahwa sekumpulan jin telah mendengarkan (bacaan),” lalu mereka berkata, “Kami telah mendengarkan bacaan yang menakjubkan (Al-Qur’an), (2) (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Tuhan kami, (QS. Al-Jinn [Yang tersembunyi] 72 : 1-2)

إِقْرَءُوا الْقُرْآنَ، فَإِنَّهُ يَأْتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيْعًا لِأَصْحَابِهِ (رواه مسلم)

Bacalah Al-Quran, karena sesungguhnya Al-Qur’an itu akan datang pada hari kiamat (hari kebangkitan) sebagai pemberi syafaat (penolong dan pembela) bagi ashhaab-nya (pembaca, belajar, mengajarkan, mengamalkan) (HR. Muslim dari Abi Umamah ra)

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَلَّذِيْ يَقْرَأُ الْقُرْآن وَهُوَ مَاهِرٌ بِهِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ، وَالَّذِيْ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيْهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ اَجْرَانِ. (متفق عليه)

Dari ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha berkata, Rosululaah Shollalloohu ‘alaihi wa Sallama telah bersabda : Orang yang membaca Al-Quran dan ia mahir membacanya, akan dikumpulkan dengan para Malaikat yang mulia dan taat, dan orang yang membaca Al-Qur’an dengan terbata-bata (kesulitan) dan berat, dan dia membacanya maka ia mendapatkan dua pahala. (HR. Bukhori dan Muslim)

مَنْ قَرَأَ الْقُرْاٰنَ ثُمَّ رَاٰى اَنَّ اَحَدًا اُوْتِيَ اَفْضَلَ مِمَّا اُوْتِيَ فَقَدْ إِسْتَصْغَرَ مَا عَظَّمَهُ اللهُ تَعَالٰى (رواه الطبراني)

Siapa orang yang membaca Al-Quran, kemudian ia melihat bahwa seseorang diberi sesuatu yang lebih utama dari pada apa yang diberikan kepadanya, maka ia telah memandang kecil apa yang diagungkan oleh Allah. (HR. at-Thobroni)

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْاٰنَ وَعَلَّمَهُ (رواه البخاري)

Sebaik-baik kamu sekalian adalah orang yang belajar dan mengajarkan Al-Quran (HR. Bukhori dari Utsman bin ‘Affan ra)

أَهْلُ الْقُرْاٰنِ أَهْلُ اللهِ وَخَاصَّتُهُ (رواه ابن ماجة)

Ahli Al-Quran adalah Ahli (keluarganya) Allah yang Maha Tinggi dan orang khusus-Nya. (HR. Ibnu Majah dari Anas ra)

إِنَّ الْقُلُوْبَ تَصْدَأُ كَمَا يَصْدَأُ الْحَدِيْدُ، فَقِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا جَلَاؤُهَا، فَقَالَ تِلَاوَةُ الْقُرْاٰنِ وَذِكْرُ الْمَوْتِ (رواه البيهقي)

Sesungguhnya hati itu berkarat seperti berkaratnya besi, lalu ditanyakan ; Wahai Rosulullah, apakah yang dapat menghilangkannya? beliau bersabda : Membaca Al-Quran dan Dzikrul Maut (Mengingat Mati). (HR. al-Baihaqi)

إِنَّ هٰذَا الْقُرْآنَ مَأْدُبَةُ اللهِ فَتَعَلَّمُوْا مَأْدُبَةُ اللهِ مَاسْتَطَعْتُمْ, إِنَّ هٰذَا الْقُرْآنَ حَبْلُ اللهِ الْمَتِيْنِ وَنُوْرٌ مُبِيْنٌ وَشِفَاءٌ نَافِعٌ وَعِصْمَةٌ لِمَنْ تَمَسَّكَ بِهِ وَمَنْجَاةٌ لِمَنِ اتَّبَعَهُ لَا يَعْوَجُ فَيُقَوَّمُ وَلَا يَزِيْغُ فَيَسْتَعْتِبَ وَلَا يَنْقَضِى عَجَائِبُهُ وَلَمْ يَخْلَقْ عَنْ كَثْرَةِ التِّرْدَادِ أُتْلُوْهُ فَاِنَّ اللهَ تَعَالٰى يَأْجُرُكُمْ عَلَى تِلَاوَتِهِ بِكُلِّ حَرْفٍ عَشْرُ حَسَنَاتٍ, أَمَا إِنِّيْ لَا أَقُوْلُ آلم عَشَرَةٌ وَلَكِنَّ اْلاَلِفَ عَشَرَةٌ وَاللَّامَ عَشَرَةٌ وَالْمِيْمَ عَشَرَةٌ.

Sesungguhnya Al-Quran ini laksana hidangan jamuan Allah, maka pelajarilah hidangan jamuan Allah itu sekemampuanmu. Sesungguhnya Al-Qur’an adalah sebagai tali penghubung kepada Allah yang kokoh, dan sebagai cahaya yang menerangi, dan penawar (obat) yang berguna, dapat memelihara siapa yang berpegang kepadanya dan menyelematkan siapa yang mengikutinya, tidak khawatir berbelok untuk ditegakkan, dan tidak tersesat untuk diulang, tidak akan habis hikmah mutiaranya, tidak lapuk karena sering diulang-ulang. Bacalah ia karena Allah akan memberimu balasan (pahala) untuk tiap hurufnya sepuluh kebaikan, ingatlah bahwa aku tidak mengatakan alif laam miim hanya sepuluh kebaikan, melainkan alif sepuluh kebaikan, laam sepuluh kebaikan dan miim sepuluh kebaikan. (Riwayat dari Ibnu Mas’ud ra)

Walloohu A’lam Bi Showab
[dan Allah-lah yang Maha Tahu yang Benar]

Semoga Allah memberkahi kita semua, berkah (berlimpah kebaikan) atas segala urusan dunia dan akhiratnya, dijadikan kita hamba yang teguh iman dan selalu meningkat taqwanya, dianugerhi cinta dan dicintau Allah dengan membaca Al-Quran dan senantiasa terbimbing untuk selalu mengingat Allah, dan mensyukuri nikmat-Nya dan memperindah Ibadah kita kepada-Nya. Aamiin Ya Rob-bal ‘Alamiin

NGAJI JUM’AT 22 Desember 2023

MEMBANTU ORANG LAIN ADALAH OBAT STRESS

Diterjemahkan dan diposting oleh Abu Yusuf Sujono
Sumber:الإعجاز النبوي معالجة التوتر النفسي بمساعدة الآخرين karya ‘Abdud Daim al-Kaheel :


Tidak ada agama yang seperti Islam, dia (Islam) menaruh perhatian yang besar terhadap masalah membantu orang lain dan pemenuhan kebutuhan (hajat) mereka, sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menganggap perbuatan membantu orang lain sebagai bagian dari iman.

Nabi Berwasiat Agar Ummatnya Membantu Sesama Dan Memenuhi Kebutuhan Mereka

Banyak sekali hadits yang datang dari Nabiyurrahmah (Nabi yang penuh kasih sayang) shallallahu ‘alaihi wasallam yang menegaskan pentingnya kerjasama, membantu orang lain dan mengulurkan bantuan untuk mereka. Sampai-sampai Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam menganggap bahwa keimanan seseorang tidak akan sempurna sebelum dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri!!

Dan Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menganggap orang yang tidur (dalam keadaan kenyang) sementara dia tahu tetangganya dalam keadaan kelaparan, sebagai orang yang imannya kurang. Dan barang siapa yang kedatangan tamu namun dia tidak menghormatinya, maka dia juga imannya kurang.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ).

” Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya segala apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri berupa kebaikan”. [HR al-Bukhâri dan Muslim].

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. (رواه البخاري ومسلم)

” Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya. Janganlah menzhaliminya dan jangan membiarkannya (tidak membela dan menolongnya). Dan barangsiapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan membantunya. Dan barangsiapa yang memberikan jalan keluar untuk kesulitan saudaranya, maka Allah akan memberikan jalan keluar bagi kesulitan-kesulitannya pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan tutupi aibnya pada hari kiamat.” (HR. Bukhari Muslim)

Ini adalah hadits yang menakjubkan, darinya kita mengetahui sejauh mana perhatian Nabi terhdap masalah membantu orang lain dan mencintai kebaikan untuk mereka, sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menganggap bahwa perbuatan apapun yang Anda lakukan, baik berupa melepaskan salah satu kesulitan dari kesulitan-kesulitan duniawi seorang Muslim, atau menutupi aibnya atau memenuhi kebutuhannya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan kepada Anda balasan yang berlipat ganda dari apa yang telah Anda lakukan di dunia.

Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

” Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka janganlah ia menyakiti tetangganya, barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaknya ia memuliakan tamunya, dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya ia berkata baik atau diam.(HR. al-Bukhari)

Sesungguhnya memuliakan tamu adalah sebuah tuntunan yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, dan bahwasanya Allah memberikan pahala yang besar atas amalan tersebut. Dan Islam tidak hanya memerintahkan untuk membantu orang lain, akan tetapi ia (Islam) juga memerintahkan untuk menahan diri dari mengganggu mereka dan tidak menyakiti mereka.

Sekarang, setelah kita melihat bagaimana perhatian Islam terhadap aspek sosial ini, dan bagaimana Islam memelihara keutuhan masyarakat dan integritasnya serta tersebarnya cinta, kasih sayang, dan kebaikan di antara orang-orang yang beriman. Kita bertanya:” Apakah ada keajaiban ilmiah atau faidah-faidah medis dan psikologis dari amalan ini?”

Studi Ilmiah Membuktikan Bahwa Membantu Orang Lain Mengobati Stress

Para ahli di bidang psikologi menegaskan bahwa membantu orang lain akan meringankan stress, yang mana membantu orang lain merangsang sekresi suatu hormon yang bernama “endorfin”, suatu hormon yang membantu menghasilkan perasaan nyaman dan tenang secara psikologis.

Dan mantan direktur Institut “Penyuluhan Kesehatan” di Amerika Serikat “Alan Lex” menegaskan bahwa membantu orang lain membantu mengurangi tekanan saraf, yang mana bantuan seseorang kepada orang lain mengurangi pikirannya terhadap kesedihan-kesedihan dan masalah-masalah pribadinya, dan kemudian merasa nyaman secara psikologis.

Peneliti mengisyaratkan akan perlunya terpenuhi tiga syarat mendasar ketika seseorang membantu orang lain agar bisa menikmati sisi positif (dampak positif) dari bantuannya. Syarat tersebut yaitu hendaknya bantuan tersebut harus teratur, memungkinkan hubungan pribadi antara orang yang pembantu dan orang yang meminta bantuan dan hendaknya orang yang meminta bantuan adalah orang di luar lingkup orang yang dikenalnya, keluarganya atau teman-temannya.

Sang Ahli menegaskan bahwa manusia tidak dipaksa untuk membantu orang yang tidak dikenal, namun dia benar-benar bebas untuk memutuskan apakah akan mebantu orang lain atau tidak. Dan bahwasanya kebebasan itu adalah hal penting untuk mendapatkan hasil psikologis yang diinginkan dalam membantu orang lain. Dan sebaliknya, bahwasanya seseorang “dipaksa” untuk membantu teman-teman dan kerabat.

Dalam studi-studi ilmiah sebelumnya nampak jelas pentingnya toleransi, memaafkan orang lain dan tidak marah. Semua ini menyebabkan peningkatan kemampuan sistem kekebalan tubuh pada manusia, dan secara otomatis meningkatan perlindungan terhadap berbagai penyakit.

Dapat dikatakan bahwa setiap perbuatan baik yang dilakukan seseorang dapat memberikan kontribusi untuk meningkatkan kondisi mental dan meningkatkan tingkat kekuatan sistem kekebalan tubuh serta memberikan kepada tubuh Anda dosis kekebalan tambahan terhadap penyakit, terutama stres.

Sesungguhnya Islam ketika memberikan perhatian terhadap perbuatan baik, tidaklah penetapan syar’iat tersebut kecuali untuk maslahat (kebaikan) manusia dan masyarakat dan agar mereka beruntung mendapatkan balasan di dunia dan akhirat.

Oleh karena itu, kita dapatkan banyak ayat yang memotivasi seorang mukmin untuk saling tolong menolong dan memberikan pelayanan/bantuan kepada orang lain tanpa imbalan (gratis). Lihatlah bagaimana peneliti ini, setelah banyak percobaan yang dia lakukan, maka nampak jelaslah baginya bahwa sebaik-baik jenis bantuan adalah ketika Anda tidak meminta imbalan atau mengaharap terima kasih atas bantuan Anda. Dan dari sini kita mengetahui arti penting firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:

(وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا * إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا) [الإنسان: 8-9].

” Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS. Al-Insaan: 8-9)

Ya Allah jadikanlah seluruh amalan kami ikhlash karena ingin mendapatkan keridhaan-Mu, dan karena takut terhadap adzab-Mu serta karena kecintaan kepada penutup para Nabi-Mu (Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam).

 

NGAJI JUM’AT 29 Desember 2023

HIKMAH DILARANGNYA MAKAN & MINUM SAMBIL BERDIRI

Sumber: الاعجاز العلمي في أداب الطعام و الشراب في الاسلام Oleh Dr Muhammad Nazar Daker.

Diterjemahkan secara ringkas dan diposting oleh Abu Yusuf Sujono

 


أن النبي صلى الله عليه وسلم زجر عن الشرب قائماً ” رواه مسلم . ، قال قتادة : قتادة : فقلنا فالأكل فقال : ذاك أشر وأخبث ” رواه مسلم والترمذي وقال صحيح غريب .

” Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang minum sambil berdiri.” (HR. Muslim)

Dan dari Anas dan Qatadah radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

” أنه نهي أن يشرب الرجل قائماً “قَالَ قَتَادَةُ فَقُلْنَا فَالأَكْلُ؟ فَقَالَ ذَاكَ أَشَرُّ أَوْ أَخْبَثُ.

” Sesungguhnya beliau (shallallahu ‘alaihi wasallam) melarang seseorang minum sambil berdiri.” Qatadah radhiyallahu ‘anhu berkata:’ Kami berkata:’ Lalu bagaimana dengan makan?’ Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:’ Itu lebih buruk atau lebih jelek.’” (HR. Muslim)

Dari Ummu al-Fadhl bintu al- Harits radhiyallahu ‘anha:

” أَنَّهَا أَرْسَلَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَدَحِ لَبَنٍ وَهُوَ وَاقِفٌ عَشِيَّةَ عَرَفَةَ فَأَخَذَ بِيَدِهِ فَشَرِبَهُ ” زَادَ مَالِكٌ عَنْ أَبِي النَّضْرِ ” عَلَى بَعِيرِهِ ” رواه البخاري.

” Bahwasanya dia radhiyallahu ‘anha mengirimkan segelas susu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau sedang wukuf pada sore hari di padang di ‘Arafah, lalu beliau mengambil (sus tersebut) dan meminumnya.” Malik menambahkan dari Abu An Nadlar ” di atas untanya”.

Hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia ini sebagiannya melarang minum sambil berdiri dan sebagiannya lagi membolehkan. Lalu apakah di dalamnya ada Nasikh dan Mansukh (penghapusan/penggantian satu hukum dengan hukum yang lain)?

Imam an-Nawawi rahimahullah dalm Syarh Shahih Muslim berkata:” Di dalam hadits-hadits ini tidak ada masalah dan tidak ada yang lemah, akan tetapi semuanya shahih. Dan yang benar di dalamnya (dalam memahaminya) adalah bahwa larangan tersebut dibawa kepada makna makruh tanzih. Dan adapun minumnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan berdiri maka itu adalah penjelasan akan bolehnya hal tersebut. Maka tidak ada masalah dan tidak ada yang kontradiksi. Dan apa yang kami sebutkan ini adalah jalan keluar yang harus ditempuh. Dan adapun yang mengira bahwa di sini ada Naskh (penghapusan/penggantian satu hukum dengan hukum yang lain) maka ia telah keliru dengan kekeliruan yang parah.”

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari perkataan an-Nawawi rahimahullah di atas dengan berkata:” Dan ini adalah metode yang paling penting untuk ditempuh, paling selamat dan paling jauh dari kritikan.” Dan al-Atsram mengisyaratkan kepada hal itu.

Adapun dari sisi kesehatan, maka Dr Abdul Razzaq al-Kilani berkata” Sesungguhnya minum dalam keadaan duduk lebih sehat, lebih selamat, lebih nyaman dan lebih enak, yang mana apa yang dimakan dan diminum oleh orang tersebut akan melewati dinding lambung dengan perlahan dan lembut. Adapun minum dalam keadaan berdiri maka ia menyebabkan turunnya cairan (air minum) ke lambung dengan keras dan menabraknya dengan keras. Dan bahwasanya pengulangan proses ini dalam waktu yang lama akan menyebabkan lambung menjadi turun dan lembek, dan efeknya adalah menyebabkan gangguan pencernaan. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang minum dalam keaadan berdiri maka hal itu hanyalah karena sesuatu mendesak yang menghalangi beliau untuk minum sambil duduk. Sesuatu yang mendesak tersebut seperti keramaian di tempat haji, dan minumnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan berdiri bukanlah kebiasaan dan sesuatu yang dirutinkan.” Wallahu A’lam

NGAJI JUM’AT 05 Januari 2024

PENILAIAN MANUSIA ATAS DIRIMU ITU TIDAK PENTING

 

Oleh : Ustadz Johan Saputra Halim, M.Hi (JSH) 

قَالُوا۟ سَمِعۡنَا فَتࣰى یَذۡكُرُهُمۡ یُقَالُ لَهُۥۤ إِبۡرَ ٰ⁠هِیمُ

“Mereka berkata; Kami mendengar ada seorang pemuda yang mengata-ngatai (berhala kita), pemuda itu dikenal dengan nama Ibrahim.” [Surah Al-Anbiyāʾ: 60]

Demikianlah Ibrahim di mata kaumnya, hanya seorang pemuda biasa. Namun di mata Allah subhanahu wa ta’ala:

{ إِنَّ إِبۡرَ ٰ⁠هِیمَ كَانَ أُمَّةࣰ قَانِتࣰا لِّلَّهِ حَنِیفࣰا وَلَمۡ یَكُ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِینَ }

“Sesungguhnya Ibrahim ‘alaihissalam adalah seorang Imam dalam kebaikan” [Surah An-Naḥl: 120]

Allah sejenak merubah hukum alam demi menyelamatkan Ibrahim ‘alaihissalam. Api yang panas membakar, Allah jadikan sejuk dan dingin demi keselamatan kekasih-Nya itu. Begitu mulia Ibrahim di mata Allah.

Oleh karena itu, jangan mencari muka di hadapan manusia untuk memelas penilaian mereka terhadapmu. Nilaimu yang sejati adalah “siapa dirimu di mata Allah subhanahu wa ta’ala.”

Apa kata manusia terhadapmu, itu tidak penting. Yang terpenting adalah apa kata Allah tentangmu.

♨ Human’s appraisal, assesment, evaluation of yourself is not important 🍂

قَالُوا۟ سَمِعۡنَا فَتࣰى يَتْكُرُهُمۡ يُقَالُ لَهُۥۤ إِبْرَ ٰ⁠هِيمُ

“They said: We heard that there is a young man who is talking about (our idols), the young man is known by the name of Ibrahim.” [Surah Al-Anbiyāʾ: 60]

That’s how Ibrahim was in the eyes of his people, just an ordinary young man. But in the eyes of Allah subhanahu wa ta’ala:

{ إِنَّ إِبْرَ ٰ⁠هِيمَ كَانَ أُمَّةࣰ قَانِتࣰا لِّلَّهِ حَنِيفࣰا وَلَمۡ يَكُ مِنَ المجموعُشۡرِكِينَ }

“Verily Ibrahim ‘alaihissalam was an Imam in goodness” [Surah An-Naḥl: 120]

God changed the laws of nature for a moment in order to save Ibrahim ‘alaihissalam. The hot fire burns, God makes it cool and cold for the safety of His beloved. Abraham was so honorable in God’s eyes.

Therefore, do not seek face in front of people to complain about their assessment of you. Your true value is “who you are in the eyes of Allah subhanahu wa ta’ala.”

What people say about you, it doesn’t matter. The most important thing is what God says about you.

✍ Ustadz Johan Saputra Halim, M.Hi (JSH)

NGAJI JUM’AT 12 Januari 2024

Suka Mengadu Domba

Sumber: Mausu’ah Al-Ahadits An-Nabawiyah (Arabi-Indunisi), Jilid 6, Markaz Rawwad At-Tarjamah, Rabwah, KSA.

 

Hadits:

عَنْ حُذَيْفَةَ -رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ- عَنْ النَّبِيِّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- قَالَ: لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ

Dari Hudzaifah –radhiyallahu ‘anhu-, dari Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wasallam-, beliau bersabda, “Tidak akan masuk Surga orang yang suka mengadu domba.

Derajat hadits: Hadits shahih

Rawi Hadits: Muttafaqun ‘alaih (Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim rahimahumallah)

Sumber: Riyadhus Shalihin, Imam Abu Zakaria Yahya Muhyiddin bin Syaraf al-Nawawi rahimahullah (w. 676 H./1277 M.).

Makna Kosakata:

قَتَّاتٌ : Orang  yang meyampaikan perkataan dari seseorang kepada orang lain, atau beberapa orang, dengan maksud merusak (hubungan baik di antara mereka).

Makna Global:

Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam– memberitahukan ancaman keras kepada pelaku adu domba -menyampaikan perkataan di antara manusia dengan tujuan menimbulkan kerusakan-. Yaitu dia tidak akan masuk Surga di awal tetapi akan didahului azab sesuai dengan kadar dosanya. “Al-Qattat” artinya “an-Nammam” (pengadu domba). Perbuatan ini termasuk dosa besar berdasarkan hadits tersebut.

Pelajaran Hadits:

  1. Namimah (mengadu domba) termasuk dosa besar, karena dampak buruk yang terdapat di dalamnya dan akibatnya yang mengerikan.
  2. Syariah ini dibangun di atas segala sesuatu yang dapat menyelaraskan dan menumbuhkan kerukunan antar umat Islam.
 
 

 

 

NGAJI JUM’AT 19 Januari 2024

Ancaman Berilmu Tapi Tidak Beramal Dengan Ilmunya

 

 

(123) – 1 : Shahih

Dari Zaid bin Arqam  رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ, bahwa Rasulullah  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berdoa,

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ، وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ، وَمِنْ دَعْوَةٍ لَا يُسْتَجَابُ لَهَا.

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari nafsu yang tidak pernah kenyang (puas), dan dari doa yang tidak mustajab.”

Diriwayatkan oleh Muslim, at-Tirmidzi, dan an-Nasa’i, dan ia adalah bagian dari hadits yang panjang.

(124) – 2 : Shahih

Dari Usamah bin Zaid  رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ, bahwa dia mendengar Rasulullah  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda,

يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَيُلْقَى فِي النَّارِ، فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ، فَيَدُوْرُ كَمَا يَدُوْرُ الْحِمَارُ بِرَحَاهُ، فَتَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ، فَيَقُوْلُوْنَ: يَا فُلَانُ! مَا شَأْنُكَ؟ أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُ بِالْمَعْرُوْفِ، وَتَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ؟ قَالَ: كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَلَا آتِيْهِ، وَأَنْهَاكُمْ عَنِ الشَّرِّ وَآتِيْهِ

“Seorang laki-laki[1] didatangkan pada Hari Kiamat lalu dia dicampakkan ke dalam neraka, maka usus-ususnya keluar dengan cepat[2] lalu dia berputar-putar dengannya seperti keledai berputar-putar pada tambatannya[3] lalu penduduk neraka mengelilinginya. Mereka berkata, ‘Wahai fulan, ada apa denganmu? Bukankah kamu dulu beramar ma’ruf dan nahi mungkar?’ Dia menjawab, ‘Aku beramar ma’ruf kepada kalian sementara aku sendiri tidak melakukannya dan bernahi mungkar kepada kalian sementara aku sendiri melakukannya’.”

(125) – 3 : Shahih

Dia berkata,[4] dan aku mendengarnya bersabda, yakni Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ,

مَرَرْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِيْ بِأَقْوَامٍ تُقْرَضُ شِفَاهُهُمْ بِمَقَارِيْضَ مِنْ نَارٍ، قُلْتُ: مَنْ هٰؤُلَاءِ يَا جِبْرِيْلُ؟ قَالَ: خُطَبَاءُ أُمَّتِكَ الَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ مَا لَا يَفْعَلُوْنَ

“Pada malam aku diisra’kan, aku melewati suatu kaum yang mulut mereka dipotong dengan gunting dari api neraka. Aku bertanya, ‘Siapa mereka wahai Jibril?’ Jibril menjawab, ‘Ahli khutbah di kalangan umatmu yang mengatakan apa yang tidak mereka perbuat’.”

Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim dan lafazh hadits ini adalah lafazhnya.[5]

Diriwayatkan[6] pula oleh Ibnu Abi ad-Duniya, Ibnu Hibban, dan al-Baihaqi dari hadits Anas. Ibnu Abi ad-Duniya dan al-Baihaqi dalam suatu riwayat lain milik keduanya menambahkan,

وَيَقْرَؤُوْنَ كِتَابَ اللَّهِ وَلَا يَعْمَلُوْنَ بِهِ

“Dan mereka membaca kitabullah namun tidak mengamalkannya.”

Al-Hafizh berkata, “Hadits-hadits senada akan datang pada bab “Ancaman bagi orang yang menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat mungkar, sementara perbuatannya menyelisihi ucapannya,” dari Kitab Hudud.

(126) – 4 : Shahih

Dari Abu Barzah al-Aslami  رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ, ia berkata, Rasulullah  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda,

لَا تَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ (يَوْمَ الْقِيَامَةِ) حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَ أَفْنَاهُ؟ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيْمَ فَعَلَ فِيْهِ؟ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَ أَنْفَقَهُ؟ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيْمَ أَبْلَاهُ؟

“Tidaklah kedua kaki seorang hamba bergeser (pada Hari Kiamat)[7] sehingga dia ditanya tentang umurnya, untuk apa dia habiskan, tentang ilmunya apa yang dilakukan dengannya, tentang hartanya dari mana dia memperolehnya dan pada apa dia menginfakkannya dan tentang jasadnya untuk apa dia gunakan?”

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan dia berkata, “Hadits hasan shahih.”

(127) – 5 : Hasan Lighairihi

Diriwayatkan pula oleh al-Baihaqi dan lainnya dari hadits Mu’adz bin Jabal  رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ, dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , beliau bersabda,

مَا تُزَالُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ: عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَ أَفْنَاهُ؟ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيْمَ أَبْلَاهُ؟ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَ أَنْفَقَهُ؟ وَعَنْ عِلْمِهِ مَاذَا عَمِلَ فِيْهِ؟

“Tidaklah kedua kaki seorang hamba digeserkan[8] pada Hari Kiamat sehingga dia ditanya tentang empat perkara: Tentang umurnya untuk apa dia menghabiskannya, tentang masa mudanya, untuk apa dia menggunakannya, tentang hartanya dari mana dia mendapatkannya, dan untuk apa dia menginfakkannya, serta tentang ilmunya, apa yang dia lakukan dengannya.”

(128) – 6 : Hasan Lighairihi

 Dari Ibnu Mas’ud  رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  , beliau bersabda,

لَا يَزُوْلُ قَدَمَا ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ: عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَ أَفْنَاهُ؟ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيْمَ أَبْلَاهُ؟ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَ أَنْفَقَهُ؟ وَمَاذَا عَمِلَ فِيْمَا عَلِمَ

“Tidaklah kedua kaki anak cucu Adam bergeser pada Hari Kiamat sehingga dia ditanya tentang lima perkara: Tentang umurnya untuk apa dia menghabiskannya, tentang masa mudanya untuk apa dia menggunakannya, tentang hartanya dari mana dia mendapatkannya dan untuk apa dia menginfakkannya, dan apa yang dia lakukan dengan ilmunya?”

Diriwayatkan juga oleh at-Tirmidzi dan al-Baihaqi. At-Tirmidzi berkata, “Hadits gharib, kami tidak mengetahuinya dari hadits Ibnu Mas’ud رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ dari Nabi  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, kecuali dari hadits Husain bin Qais.”

Al-Hafizh berkata, “Husain ini adalah rawi yang dijuluki Hanasy, dia dinyatakan tsiqah oleh Hushain bin an-Numair dan didhaifkan oleh yang lain. Hadits ini adalah hasan karena adanya rawi-rawi lain yang ikut meriwayatkannya (mutaba’ah) jika disandarkan kepada hadits sebelumnya. Wallahu a’lam.”

(129) – 7 : Shahih Lighairihi tapi Mauquf

Dari Luqman –yakni bin Amir– dia berkata, Abu ad-Darda’  رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ berkata,

إِنَّمَا أَخْشَى مِنْ رَبِّيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنْ يَدْعُوَنِيْ عَلَى رُؤُوْسِ الْخَلَائِقِ فَيَقُوْلُ لِيْ: يَا عُوَيْمِرُ! فَأَقُوْلُ: لَبَّيْكَ رَبِّ. فَيَقُوْلُ: مَا عَمِلْتَ فِيْمَا عَلِمْتَ

“Aku hanya takut kepada Rabbku pada Hari Kiamat jika Dia memanggilku di depan mata seluruh makhluk lalu dia memanggil, ‘Wahai Uwaimir.’ Aku menjawab, ‘Aku penuhi panggilanMu ya Rabbi’. Lalu Dia berfirman, ‘Apa yang kamu lakukan dengan apa yang kamu ketahui?’”

Diriwayatkan oleh al-Baihaqi.[9]

(130) – 8 : Shahih Lighairihi

Diriwayatkan dari Abu Barzah  رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ, dia berkata, Rasulullah  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  bersabda,

مَثَلُ الَّذِيْ يُعَلِّمُ النَّاسَ الْخَيْرَ وَيَنْسَى نَفْسَهُ، مَثَلُ الْفَتِيْلَةِ تُضِيْءُ عَلَى النَّاسِ وَتَحْرِقُ نَفْسَهَا

“Perumpamaan orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia namun melupakan dirinya sendiri adalah seperti lilin yang menerangi orang lain namun membakar dirinya.”

Diriwayatkan oleh al-Bazzar.[10]

(131) – 9 : Hasan

Dari Jundub bin Abdullah al-Azdi  رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ, sahabat Nabi  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, dari Rasulullah  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda,

مَثَلُ الَّذِيْ يُعَلِّمُ النَّاسَ الْخَيْرَ وَيَنْسَى نَفْسَهُ، كَمَثَلِ السِّرَاجِ، يُضِيْءُ لِلنَّاسِ وَيَحْرِقُ نَفْسَهُ

“Perumpamaan orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia dan dia melupakan dirinya sendiri adalah seperti lampu yang bercahaya bagi orang-orang sementara dia membakar dirinya.” Al-Hadits.

Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir dan sanadnya adalah hasan, insya Allah.[11]

(132) – 10 : Shahih

Dari Imran bin Hushain  رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ, dia berkata, Rasulullah  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda,

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ بَعْدِيْ، كُلُّ مُنَافِقٍ عَلِيْمِ اللِّسَانِ

“Sesungguhnya perkara yang paling aku takutkan bagi kalian sesudahku adalah setiap munafik yang ahli berbicara.”

Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir dan al-Bazzar, dan rawi-rawinya dijadikan hujjah dalam ash-Shahih.[12]

KETERANGAN: 

[1] Yaitu, orang yang ilmunya menyelisihi amalnya. (اَلْإِنْدِلَاقُ) adalah keluarnya sesuatu dengan cepat dari tempatnya.

[2] (أَقتَابُهُ ) adalah jamak dari “قِتْبٌ”, dengan qaf dibaca kasrah, maknanya, isi perut atau usus.

[3] Lihatlah wahai saudaraku kepada keadaan orang yang berkata tetapi tidak mengerjakan, bagaimana usus-ususnya keluar dari perutnya melalui duburnya, lalu dia berputar-putar dengannya seperti keledai mengelilingi tambatannya, sementara orang-orang melihatnya dan heran dengan keadaannya. Semoga Allah memberikan keselamatan kepada kita.

[4] Begitulah dalam kitab asli dan lainnya, yakni bahwa hadits itu adalah dari hadits Usamah bin Zaid, yang  juga akan datang pada bab yang akan diisyaratkan oleh penulis dalam Kitab Hudud bab 2. Ini adalah kekeliruan yang fatal. Penyebabnya menurutku adalah penulis hanya mengandalkan hafalannya dan mendiktekan hadits-hadits kitab ini dari ingatannya tanpa merujuk kepada sumber-sumbernya. Hadits ini di mana penulis menjadikannya termasuk hadits Usamah di sini dan di sana bukan merupakan haditsnya secara mutlak, tidak di ash-Shahihain, tidak pula di selainnya, ia adalah hadits lain yang tidak memiliki keterkaitan dengan yang pertama yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dan diriwayatkan oleh Ibnu Hibban di Shahihnya (35 – Mawarid azh-Zham`an) dan lain-lainnya yang disebutkan oleh penulis. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad di Musnad, 3/120, 231, 239 dan ini luput dari penulis, oleh karena itu saya memisahkannya dari hadits Usamah dan memberinya nomor khusus, lain dengan apa yang dilakukan oleh Mushthafa Imarah dan lainnya seperti tiga orang pemberi komentar tersebut. Dan taufik hanyalah dari Allah.

[5] Begitulah dia berkata, mungkin maksudnya adalah hadits yang pertama karena anda telah mengetahui bahwa asy-Syaikhain tidak meriwayatkan yang lain. Oleh karena itu an-Naji berkata, “Akan tetapi yang benar adalah, “Dan lafazhnya adalah lafazh al-Bukhari karena dia meriwayatkannya begitu di bab ‘sifat neraka’.”  Muslim meriwayatkan senada dengannya di kitab az-Zuhd, dan al-Bukhari meriwayatkan dengan maknanya di Kitab al-Fitan.

   Aku berkata, “Lafazh Muslim akan hadir di tempat yang telah diisyaratkan oleh penulis di sini dan yang dimaksud dengan takhrij ini adalah hadits Usamah sebelumnya sebagaimana telah saya jelaskan tadi.”

[6] Yakni hadits Isra’ yang merupakan hadits Anas dan bukan dari hadits Usamah seba-gaimana telah dijelaskan tadi. Ini ditakhrij dalam ash-Shahihah, no. 291.

[7] Ia tercecer dari kitab asli dan makhthuthah dan saya menyusulkannya dari at-Tirmidzi.

[8] (تُزَالُ) Dengan ta` dibaca dhammah, yang menempati (sama) maknanya jika dibaca fathah. Ini dinyatakan oleh al-Hafizh an-Naji. Dengan ta` dibaca fathah tertulis di cetakan Imarah begitu pula cetakan tiga orang tersebut. Lafazh ini dalam manuskrip (makhthuthah) sama dengan yang di sini (مَا تَزَالُ). Lalu penukilnya atau lainnya mengubahnya menjadi (مَا تَزُوْلُ) alif diganti dengan wawu, sepertinya dia tidak tahu bahwa dengan ta` dibaca dhammah adalah juga benar (shahih). Penulis akan mengulang hadits ini di Kitab Kebangkitan Kembali dari Alam Kubur bab 3 dengan riwayat lain dengan lafazh (لَنْ تَزُوْلَ), jika lafazh yang di sini shahih, maka dasarnya adalah apa yang dikatakan oleh an-Nasa’i.

[9] Saya berkata, “Al-Baihaqi meriwayatkannya dalam Syu’ab al-Iman 2/299, no. 1852, dan di dalam sanadnya terdapat al-Faraj bin Fadhalah, dia dhaif, akan tetapi ia diriwayatkan oleh ad-Darimi, 1/82, Ibnu Abdil Bar 2/2 dan 3 dari beberapa jalan, dari Abu ad-Darda’, begitu juga Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd sebagaimana dalam al-Kawakib ad-Darari 1/30/1, kemudian saya melihatnya pada kitab tersebut yang tercetak 13-14/39 dan sanad ini adalah shahih.”

[10] Begitulah dalam kitab asli dan makhthuthah. Al-Haitsami lalu as-Suyuthi tidak menisbatkannya kecuali kepada ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir. Kelemahannya ditambal oleh hadits sesudahnya.

[11] Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir dari dua jalan, salah satunya adalah hasan didukung oleh hadits sebelumnya. Ia ditakhrij dalam ash-Shahihah, no. 3379.

[12] Saya berkata, “Luput darinya Shahih Ibnu Hibban 51/91 – Mawarid.

 

REFERENSI: 

Shahih At-Targhib Wa At-Tarhib (1) Hadits-hadits Shahih tentang Anjuran & Janji Pahala, Ancaman & Dosa; Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani; Darul Haq, Jakarta, Cet. V, Dzulhijjah 1436 H. / Oktober 2015 M.

NGAJI JUM’AT 26 Januari 2024

MENDIRIKAN. SHOLAT KARENA TAKUT KEPADA ALLAH

Penterjemah,
Ustadz Abu Yahya Badrusalam Lc,

 

🌴🌴🌴
⏺ Rosulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يعجَبُ ربُّكَ من راعي غنمٍ ، في رأسِ شظيَّةِ الجبلِ يؤذِّنُ بالصَّلاةِ ويصلِّي فيقولُ اللَّهُ عزَّ وجلَّ انظروا إلى عبدي هذا يؤذِّنُ ويقيمُ الصَّلاةَ يخافُ منِّي قد غَفرتُ لعَبدي ، وأدخلتُهُ الجنَّةَ

“Allah kagum kepada penggembala kambing yang berada di puncak gunung. Ia adzan untuk sholat lalu ia sholat.

Maka Allah berfirman, “Lihatlah hamba-Ku itu, ia adzan dan mendirikan sholat karena takut kepada-Ku. Sungguh Aku telah mengampuni hamba-Ku itu dan Aku akan memasukkannya ke surga..”

(HR Abu Dawud dan An Nasai)

🌴🌴🌴
⏺ Ibnul Qoyyim rohimahullah berkata,

« ﻭاﻟﺼﻼﺓ ﻣﺠﻠﺒﺔ ﻟﻠﺮﺯﻕ، ﺣﺎﻓﻈﺔ ﻟﻠﺼﺤﺔ، ﺩاﻓﻌﺔ ﻟﻷﺫﻯ، ﻣﻄﺮﺩﺓ ﻟﻷﺩﻭاء، ﻣﻘﻮﻳﺔ ﻟﻠﻘﻠﺐ، ﻣﺒﻴﻀﺔ ﻟﻠﻮﺟﻪ، ﻣﻔﺮﺣﺔ ﻟﻠﻨﻔﺲ، ﻣﺬﻫﺒﺔ ﻟﻠﻜﺴﻞ، ﻣﻨﺸﻄﺔ ﻟﻠﺠﻮاﺭﺡ، ﻣﻤﺪﺓ ﻟﻠﻘﻮﻯ، ﺷﺎﺭﺣﺔ ﻟﻠﺼﺪﺭ ﻣﻐﺬﻳﺔ ﻟﻠﺮﻭﺡ، ﻣﻨﻮﺭﺓ ﻟﻠﻘﻠﺐ، ﺣﺎﻓﻈﺔ ﻟﻠﻨﻌﻤﺔ، ﺩاﻓﻌﺔ ﻟﻠﻨﻘﻤﺔ، ﺟﺎﻟﺒﺔ ﻟﻠﺒﺮﻛﺔ، ﻣﺒﻌﺪﺓ ﻣﻦ اﻟﺸﻴﻄﺎﻥ، ﻣﻘﺮﺑﺔ ﻣﻦ اﻟﺮﺣﻤﻦ »

Sholat itu :
▶ mendatangkan rezeki,
▶ menjaga kesehatan,
▶ menolak bala,
▶ mengusir penyakit,
▶ menguatkan hati,
▶ memutihkan wajah,
▶ membahagiakan jiwa,
▶ menghilangkan kemalasan,
▶ membuat semangat anggota badan,
▶ memberi kekuatan,
▶ melapangkan dada,
▶ memberi gizi kepada ruh,
▶ mencahayakan hati,
▶ menjaga nikmat,
▶ menolak adzab,
▶ menimbulkan keberkahan,
▶ menjauhkan dari setan, dan
▶ mendekatkan kepada Ar Rohman.

(Zaadul Ma’aad 304/4)

=====🌴🌴🌴🌴🌴====

NGAJI JUM’AT 2 Februari 2024

 SEGALA SESUATU AKAN ADA AKIBATNYA

Luqman Al-Hakim pernah berkata kepada putranya,




يا بنيّ، مَن رَحِمَ يُرْحَم، ومَن يصمِت يسلَم، ومَن يفعلِ الخير يَغْنَم، ومَن يَفْعَلِ الشَّرَّ يأثم، ومَن لَم يملك لسانه يندم

Wahai putraku,

– barangsiapa yang menyayangi, maka ia akan disayangi,
– barangsiapa yang diam, maka ia akan selamat,
– barangsiapa yang melakukan kebaikan, maka ia akan beruntung,
– barangsiapa melakukan keburukan, maka ia berdosa, dan
– barangsiapa yang tidak menjaga lisannya, maka ia akan menyesal.

(Bahru ad-Dumu’, hlm. 152)

Raihlah pahala dan kebaikan dengan membagikan link kajian Islam yang bermanfaat ini, melalui jejaring sosial Facebook, Twitter yang Anda miliki. Semoga Allah Subhaanahu wa Ta’ala membalas kebaikan Anda.

 

NGAJI JUM’AT 9 Februari 2024

SELEMBUT HATI MUKMIN

Penulis,
Ustadz Abu Yahya Badrusalam Lc, حفظه الله تعالى

 

Rosulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda,

يدخل الجنة أقوام أفئدتُهم مثل أفئدة الطير

“Akan masuk surga beberapa kaum yang hatinya bagaikan hati burung..” (HR Muslim)

Burung selalu bertawakal kepada Allah..
Lihatlah, di pagi hari ia pergi dalam keadaan perutnya kosong..
Di sore hari ia pulang dalam keadaan perutnya penuh makanan..
Padahal ia tak memiliki ijazah atau pun pernah sekolah..
Ia hanya berusaha terbang ke sana kemari dan tak pernah malas..

Burung itu hatinya penuh rasa waspada..
Ia akan segera terbang bila ada yang mencurigakan..
Demikian pula hati mukmin selalu waspada..
Ia segera lari dari fitnah dan menjauhi kemaksiatan..

Hati burung itu lembut, selembut hati mukmin..

 

Raihlah pahala dan kebaikan dengan membagikan link kajian Islam yang bermanfaat ini, melalui jejaring sosial Facebook, Twitter yang Anda miliki. Semoga Allah Subhaanahu wa Ta’ala membalas kebaikan Anda.

NGAJI JUM’AT 16 Februari 2024

AMJURN MEMULIAKAN, MENGHORMATI Dan MENGHARGAI PARA ULAMA

 

(97) – 1 : Shahih

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَجْمَعُ بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ مِنْ قَتْلَى أُحُدٍ -يَعْنِي فِي الْقَبْرِ- ثُمَّ يَقُوْلُ: أَيُّهُمَا أَكْثَرُ أَخْذًا لِلْقُرْآنِ؟ فَإِذَا أُشِيْرَ لَهُ إِلَى أَحَدِهِمَا، قَدَّمَهُ فِي اللَّحْدِ

“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengumpulkan dua orang korban perang Uhud –maksudnya di dalam kubur– lalu beliau bersabda, ‘Manakah di antara keduanya yang lebih banyak mengambil (mempelajari) al-Qur’an?’ Lalu salah seorang ditunjukkan kepada beliau, maka beliau mengedepankannya (dalam posisi kiblat) di liang lahad.”

Diriwayatkan oleh al-Bukhari.

(98) – 2 : Hasan

Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ مِنْ إِجْلَالِ اللّٰهِ إِكْرَامَ ذِي الشَّيْبَةِ الْمُسْلِمِ، وَحَامِلِ الْقُرْآنِ، غَيْرِ الْغَالِي فِيْهِ، وَلَا الْجَافِي عَنْهُ، وَإِكْرَامَ ذِي السُّلْطَانِ الْمُقْسِطِ

“Sesungguhnya termasuk memuliakan Allah adalah menghormati seorang Muslim yang telah beruban (lanjut usia), ahli al-Qur’an (ulama) tapi tidak berlebih-lebihan dan tidak meremehkan, dan menghormati pemimpin yang berlaku adil.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud.

(99) – 3 : Shahih

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اَلْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ

“Keberkahan itu ada bersama orang-orang besar kalian (yang dihormati).”

Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath, dan al-Hakim, dan dia berkata, “Shahih berdasarkan syarat Muslim.”[1]

(100) – 4 : Shahih

Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, telah sampai sebuah riwayat kepadanya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا، وَيَعْرِفْ حَقَّ كَبِيْرِنَا

“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi anak kecil kami dan mengetahui hak orang dewasa kami.”

Diriwayatkan oleh al-Hakim, dia berkata, “Shahih berdasarkan syarat Muslim.”

(101) – 5 : Hasan

Dari Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَيْسَ مِنْ أُمَّتِيْ مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيْرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا

“Bukan termasuk umatku orang yang tidak memuliakan orang dewasa kami, menyayangi anak kecil kami, dan mengetahui (hak) ulama kami.”

Diriwayatkan oleh Ahmad, dengan sanad hasan, ath-Thabrani, dan al-Hakim, hanya saja dia berkata, لَيْسَ مِنَّا “Bukan termasuk golongan kami.”

(102) – 6 : Shahih Lighairihi

Dari Watsilah bin al-Asqa’ radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

 لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا، وَيُجِلَّ كَبِيْرَنَا

“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi anak kecil kami dan memuliakan orang dewasa kami.”

Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dari riwayat Ibnu Syihab dari Watsilah, dan dia tidak mendengar darinya.

(103) – 7 : Hasan Shahih

Dari Amr bin Syu’aib rahimahumallahu, dari bapaknya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا، وَيَعْرِفْ شَرَفَ كَبِيْرِنَا

“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi anak kecil kami dan mengetahui kemuliaan orang dewasa kami.”

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Abu Dawud, hanya saja dia berkata,

وَيَعْرِفْ حَقَّ كَبِيْرِنَا

“Dan mengetahui hak orang dewasa kami.”[2]

(104) – 8 : Hasan

Dari Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Aku telah mendengar hadits sejak lama,

إِذَا كُنْتَ فِيْ قَوْمٍ، عِشْرِيْنَ رَجُلًا أَوْ أَقَلَّ أَوْ أَكْثَرَ، فَتَصَفَّحْتَ وُجُوْهَهُمْ فَلَمْ تَرَ فِيْهِمْ رَجُلًا يُهَابُ فِي اللّٰهِ عَزَّ وَجَلَّ ، فَاعْلَمْ أَنَّ الْأَمْرَ قَدْ رَقَّ

“Jika kamu berada pada suatu kaum, dua puluh orang atau kurang atau lebih, lalu kamu meneliti wajah-wajah mereka, lalu kamu tidak menemukan seseorang yang disegani karena Allah Azza wa Jalla, maka ketahuilah bahwa perkara (agama) kaum itu telah menjadi lemah.”

Diriwayatkan oleh Ahmad dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir dan sanadnya hasan.

Referensi:

SHAHIH AT-TARGHIB WA AT-TARHIB (1) Hadits-hadits Shahih tentang Anjuran & Janji Pahala, Ancaman & Dosa, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani; Darul Haq, Jakarta, Cet. V, Dzulhijjah 1436 H. / Oktober 2015 M.

Keterangan:

[1] Begitulah yang ada dalam kitab asli dan manuskrip (makhthuthah). Dan yang ada dalam al-Mustadrak, 1/62, “Shahih berdasarkan syarat al-Bukhari”, dan disetujui oleh adz-Dzahabi, dan inilah yang benar, karena ia dari riwayat Ikrimah dari Ibnu Abbas, dan Ikrimah adalah salah seorang rawi al-Bukhari, bukan Muslim.

[2] Dengan lafazh ini al-Bukhari meriwayatkan dalam al-Adab al-Mufrad dan Ahmad dalam al-Musnad, 2/185 dan 207. Dalam riwayat lain milik keduanya dengan lafazh “وَيُوَقِّر كَبِيْرَنَا”, sanad hadits ini adalah hasan, ia mempunyai syahid dari hadits Abu Hurairah dengan lafazh pertama, diriwayatkan oleh al-Hakim, 4/178, dia menshahihkannya berdasarkan syarat Muslim dan disetujui oleh adz-Dzahabi dan memang benar sebagaimana mereka berdua katakan.

NGAJI JUM’AT 23 Februari 2024

ANJURAN DAN KEUTAMAAN PUASA

 

(978) – 1 – a : Shahih

Dari Abu Hurairah -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ-, dia berkata, Rasulullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ، إِلَّا الصَّوْمَ، فَإِنَّهُ لِيْ، وَأَنَا أَجْزِي بِهِ. وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ، فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ، فَلَا يَرْفُثْ، وَلَا يَصْخَبْ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّيْ صَائِمٌ، إِنِّيْ صَائِمٌ، وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَخُلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ. لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا، إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ، وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ

“Allah –عَزَّ وَجَلَّ- berfirman, ‘Semua amal anak cucu Adam adalah untuknya[1] kecuali puasa, ia adalah untukKu, dan Aku yang membalasnya. Puasa itu adalah perisai[2], jika salah seorang di antara kalian berpuasa hari itu, maka janganlah berucap kotor dan jangan mengumpat. Jika seseorang mencelanya atau memeranginya, maka hendaknya dia berkata, ‘Aku sedang berpuasa, aku sedang berpuasa.’[3] Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di TanganNya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah daripada aroma minyak wangi kasturi. Orang yang berpuasa mempunyai dua kebahagiaan, yaitu jika berbuka dia berbahagia dan jika dia bertemu Tuhannya dia berbahagia dengan (pahala) puasanya.”[4]

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, dan lafazh hadits ini adalah lafazh al-Bukhari.

Dalam riwayat lain milik al-Bukhari,

يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِيْ، الصِّيَامُ لِيْ، وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا

“Dia meninggalkan makan dan minumnya serta syahwatnya demi Aku. Puasa adalah untukKu dan Aku yang membalasnya; satu kebaikan (dibalas) dengan sepuluh kali lipatnya.”

Dalam salah satu riwayat milik Muslim,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ، اَلْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، إِلَى سَبْعِمِئَةِ ضِعْفٍ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: إِلَّا الصَّوْمَ، فَإِنَّهُ لِيْ، وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِيْ. لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ، وَلَخُلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ

“Setiap amal anak cucu Adam dilipatgandakan, satu kebaikan (darinya) dilipatgandakan menjadi sepuluh kali sampai tujuh ratus kali lipat. Allah تَعَالَى- berfirman, ‘Kecuali puasa, ia untukKu dan Aku yang membalasnya; dia meninggalkan syahwatnya dan makannya demi Aku. Orang yang berpuasa memiliki dua kegembiraan, yaitu kegembiraan pada waktu berbuka dan kegembiraan pada waktu bertemu dengan Tuhannya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah daripada aroma minyak wangi kasturi.”

Dalam riwayat Muslim yang lain dan Ibnu Khuzaimah,

وَإِذَا لَقِيَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ فَجَزَاهُ، فَرِحَ

“Dan jika dia bertemu Allah  –عَزَّ وَجَلَّ-, lalu Dia membalasnya, dia berbahagia.” (Al-Hadits).

Diriwayatkan oleh Malik, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasa’i dengan makna walaupun terjadi perbedaan lafazh di antara mereka.

– 1- b : Shahih Lighairihi

Dalam salah satu riwayat at-Tirmidzi, Rasulullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

إِنَّ رَبَّكُمْ يَقُوْلُ: كُلُّ حَسَنَةٍ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِئَةِ ضِعْفٍ، وَالصَّوْمُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ، وَالصَّوْمُ جُنَّةٌ مِنَ النَّارِ، وَلَخُلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ، وَإِنْ جَهِلَ عَلَى أَحَدِكُمْ جَاهِلٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلْيَقُلْ: إِنِّيْ صَائِمٌ، إِنِّيْ صَائِمٌ

“Sesungguhnya Rabb kalian berfirman, ‘Semua kebaikan dibalas sepuluh kali sampai tujuh ratus kali lipatnya, puasa itu untukKu dan Aku yang membalasnya, puasa adalah perisai dari api neraka. Dan sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum daripada aroma minyak wangi kasturi. Jika seseorang di antara kamu dijahili oleh seseorang, maka katakanlah, ‘Aku sedang berpuasa, aku sedang berpuasa’.”

Dalam riwayat lain milik Ibnu Khuzaimah,[5] Rasulullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

قَالَ اللَّهُ: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ، فَهُوَ لِيْ، وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ، الصِّيَامُ جُنَّةٌ، وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ، لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ بِفِطْرِهِ، وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ

“Allah berfirman, ‘Semua amal anak cucu Adam adalah untuknya kecuali puasa, ia untukKu dan Aku yang membalasnya. Puasa adalah perisai. Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di TanganNya, bau mulut orang yang berpuasa adalah lebih harum di sisi Allah pada Hari Kiamat daripada minyak wangi kasturi. Orang yang berpuasa akan mendapat dua kebahagiaan; yaitu jika dia berbuka, dia berbahagia dengan berbukanya, dan jika dia bertemu Rabbnya, dia akan berbahagia dengan (pahala) puasanya’.”

– 1- c : Shahih

Dalam riwayat lain milik Ibnu Khuzaimah, Rasulullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

قَالَ: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ، الْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ، قَالَ اللَّهُ: إِلَّا الصِّيَامَ، فَهُوَ لِيْ، وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ، يَدَعُ الطَّعَامَ مِنْ أَجْلِيْ، وَيَدَعُ الشَّرَابَ مِنْ أَجْلِي، وَيَدَعُ لَذَّتَهُ مِنْ أَجْلِيْ، وَيَدَعُ زَوْجَتَهُ مِنْ أَجْلِيْ، وَلَخُلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ. وَلِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ: فَرْحَةٌ حِيْنَ يُفْطِرُ، وَفَرْحَةٌ حِيْنَ يَلْقَى رَبَّهُ

“Semua amal anak cucu Adam itu untukNya; satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat. Allah berfirman, ‘Kecuali puasa, ia untukKu dan Aku yang membalasnya, dia meninggalkan makan demi Aku, meninggalkan minum demi Aku, meninggalkan kenikmatannya demi Aku, meninggalkan istrinya demi Aku. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada aroma minyak wangi kasturi. Orang yang berpuasa mempunyai dua kegembiraan, yaitu kegembiraan pada waktu berbuka dan kegembiraan pada waktu bertemu Rabbnya’.”

اَلرَّفَثُ : Dengan ra’ dan fa’ dibaca fathah, disebut secara mutlak untuk makna persetubuhan, ucapan buruk dan ajakan laki-laki kepada wanita berkaitan dengan persetubuhan. Banyak ulama berkata, “Yang dimaksud dalam hadits ini adalah ucapan buruk dan kotor.”

اَلْجُنَّةُ : Dengan jim dibaca dhammah, yaitu sesuatu yang melindungimu, yakni menutupimu dan menjagamu dari api neraka yang kamu takutkan.

اَلْخُلُوْفُ : Dengan kha’ dibaca fathah[6] dan lam dibaca dhammah, yaitu aroma mulut yang berubah karena puasa.

Sufyan bin Uyainah ditanya tentang FirmanNya تَعَالَى-,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ، إِلَّا الصَّوْمَ، فَإِنَّهُ لِيْ

“Setiap amal anak cucu Adam adalah untuknya, kecuali puasa, ia adalah untukKu,”

maka dia berkata, “Pada Hari Kiamat Allah menghisab hambaNya, Dia membayar kezhaliman yang dilakukannya di dunia dari seluruh amalnya sehingga ketika yang tersisa hanya puasa, maka Allah menanggung kezhaliman yang tersisa dan memasukkannya ke surga.”

Ini adalah ucapannya dan ini aneh. Dan banyak makna seputar ucapan ini, bukan ini tempat perinciannya.

Telah hadir hadits al-Harits al-Asy’ari, dan padanya,

وَآمُرُكُمْ بِالصِّيَامِ، وَمَثَلُ ذٰلِكَ كَمَثَلِ رَجُلٍ فِيْ عِصَابَةٍ مَعَهُ صُرَّةُ مِسْكٍ، كُلُّهُمْ يُحِبُّ أَنْ يَجِدَ رِيْحَهَا، وَإِنَّ الصِّيَامَ أَطْيَبُ عِنْدَ اللّٰهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ

“Dan aku memerintahkan kalian berpuasa. Perumpamaan hal itu adalah seperti seorang laki-laki bersama beberapa temannya, dia membawa kantong minyak wangi kasturi, semuanya ingin mendapatkan harumnya. Dan sesungguhnya puasa itu lebih harum di sisi Allah daripada aromanya minyak wangi kasturi.” (Al-Hadits).

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan dia menshahihkannya, hanya saja dia berkata,

وَإِنَّ رِيْحَ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللّٰهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ

“Dan sesungguhnya aroma orang yang berpuasa, itu lebih harum di sisi Allah daripada aroma minyak wangi kasturi.”

Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya –dan lafazh hadits ini adalah lafazhnya–, Ibnu Hibban dan al-Hakim.

Telah hadir selengkapnya dalam Kitab Shalat, Bab 36.

 

(979) – 2 – a : Hasan

Dari Sahal bin Sa’ad -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ-, dari Nabi -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, beliau bersabda,

إِنَّ فِيْ الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ: [الرَّيَّانُ]، يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، فَإِذَا دَخَلُوْا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ

“Sesungguhnya di surga terdapat sebuah pintu yang bernama [ar-Rayyan]. Orang-orang yang berpuasa akan masuk (surga) dari pintu itu pada Hari Kiamat, tidak ada seorang pun yang masuk dari pintu itu selain mereka. Jika mereka telah masuk, maka ia ditutup, sehingga tidak ada seorang pun yang masuk dari pintu itu (selain mereka).”

Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, an-Nasa’i dan at-Tirmidzi, dia menambahkan,

وَمَنْ دَخَلَهُ لَمْ يَظْمَأْ أَبَدًا

Dan barangsiapa yang masuk ke dalamnya, maka dia tidak akan haus untuk selama-lamanya.”

– 2 – b : Hasan Shahih

Dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya, hanya saja dia berkata,

فَإِذَا دَخَلَ آخِرُهُمْ أُغْلِقَ، مَنْ دَخَلَ شَرِبَ، وَمَنْ شَرِبَ لَمْ يَظْمَأْ أَبَدًا

“Jika orang yang terakhir[7] dari mereka telah masuk, maka pintu itu ditutup. Barangsiapa yang masuk, maka dia minum, dan barangsiapa yang minum, maka dia tidak akan haus untuk selama-lamanya.”

 (980) – 3 : Hasan Lighairihi

Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ-, dari Nabiyullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, beliau bersabda,

اَلصِّيَامُ جُنَّةٌ، وَحِصْنٌ حَصِيْنٌ مِنَ النَّارِ

“Puasa itu adalah perisai dan benteng yang kokoh (yang melindungi) dari api neraka.”

Diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad hasan, dan al-Baihaqi.

 (981) – 24 : Hasan

Dari Jabir -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ-, dari Nabiyullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, beliau bersabda,

اَلصِّيَامُ جُنَّةٌ يَسْتَجِنُّ بِهَا الْعَبْدُ مِنَ النَّارِ

“Puasa adalah perisai, dengannya seorang hamba berlindung dari api neraka.”

Diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad hasan dan al-Baihaqi.

(982) – 5 : Shahih

Dari Utsman bin Abu al-Ash -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ-, dia berkata, Aku mendengar Rasulullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

اَلصِّيَامُ جُنَّةٌ مِنَ النَّارِ، كَجُنَّةِ أَحَدِكُمْ مِنَ الْقِتَالِ، وَصِيَامٌ حَسَنٌ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ

“Puasa itu adalah perisai dari api neraka seperti perisai salah seorang dari kalian dari serangan (musuh). Dan adalah puasa yang baik adalah tiga hari setiap bulan.”

Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya.[8]

(983) – 6 : Shahih Lighairihi

Dari Mua’dz bin Jabal -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ-, bahwa Nabi -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda kepadanya,

أَلَا أَدُّلُكَ عَلَى أَبْوَابِ الْخَيْرِ؟ قُلْتُ: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ، قَالَ: الصَّوْمُ جُنَّةٌ، وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيْئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ

“Maukah kamu aku tunjukkan pintu-pintu kebaikan?” Aku menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Puasa itu adalah perisai dan sedekah itu melenyapkan kesalahan seperti air memadamkan api.”

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam sebuah hadits, dan dia menshahihkannya. Ia hadir selengkapnya di ash-Shamt, insya Allah.

Telah hadir hadits senada yaitu hadits Ka’ab bin Ujrah dan lain-lain. (Kitab Sedekah, Bab 9, no. 12 dan 13).

(984) – 7 : Hasan Shahih

Dari Abdullah bin Amr -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ-, bahwa Rasulullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

اَلصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، يَقُوْلُ الصِّيَامُ: أَيْ رَبِّ مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهْوَةَ، فَشَفِّعْنِيْ فِيْهِ، وَيَقُوْلُ الْقُرْآنُ: مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ، فَشَفِّعْنِيْ فِيْهِ، قَالَ: فَيُشَفَّعَانِ

“Puasa dan al-Qur’an akan memberi syafa’at bagi seorang hamba pada Hari Kiamat. Puasa berkata, ‘Ya Rabbi, aku menghalanginya (dari) makan dan syahwatnya, maka izinkanlah aku untuk memberi syafa’at kepadanya.’ Al-Qur’an berkata, ‘Aku menghalanginya tidur di malam hari, maka izinkanlah aku untuk memberi syafa’at kepadanya.’ Beliau bersabda, ‘Lalu keduanya pun diizinkan untuk memberi syafa’at’.”[9]

Diriwayatkan oleh Ahmad dan ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir dan rawi-rawinya dijadikan hujjah dalam ash-Shahih.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ad-Dunya dalam Kitab al-Ju‘ dan lainnya dengan sanad hasan dan al-Hakim, dia berkata, “Shahih berdasarkan syarat Muslim.”

(985) – 8 : Shahih

Dari Hudzaifah -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ-, dia berkata,

Aku menyandarkan Nabi -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- ke dadaku, maka beliau bersabda,

مَنْ قَالَ: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ، خُتِمَ لَهُ بِهَا، دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ صَامَ يَوْمًا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللّٰهِ، خُتِمَ لَهُ بِهَا، دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللّٰهِ، خُتِمَ لَهُ بِهَا، دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Barangsiapa yang mengucapkan La ilaha illallah, (lalu) dengan itu (hidupnya) ditutup untuknya, maka dia masuk surga. Barangsiapa yang berpuasa satu hari demi mencari Wajah Allah, dan dengan itu (hidupnya) ditutup untuknya, maka dia masuk surga. Barangsiapa yang bersedekah dengan satu sedekah demi mencari Wajah Allah, dan dengan itu (hidupnya) ditutup untuknya, maka dia masuk surga.”

Diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad tidak mengapa (La ba’sa bihi).

Diriwayatkan oleh al-Ashbahani, lafazhnya adalah,

يَا حُذَيْفَةَ، مَنْ خُتِمَ لَهُ بِصِيَامِ يَوْمٍ، يُرِيْدُ بِهِ وَجْهَ اللّٰهِ عَزَّ وَجَلَّ ، أَدْخَلَهُ اللّٰهُ الْجَنَّةَ

“Wahai Hudzaifah, barangsiapa yang (hidupnya) ditutup untuknya dengan puasa satu hari, yang dengannya dia menginginkan Wajah Allah -عَزَّ وَجَلَّ-, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga.”

(986) – 9 – a : Shahih

Dari Abu Umamah -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ-, dia berkata,

قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ، مُرْنِيْ بِعَمَلٍ. قَالَ: عَلَيْكَ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَا عِدْلَ لَهُ. قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ، مُرْنِيْ بِعَمَلٍ. قَالَ: عَلَيْكَ  بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَا عِدْلَ لَهُ

“Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, perintahkan suatu amal kepadaku.’ Beliau bersabda, ‘Berpuasalah, karena ia tidak ada yang menyamainya’. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, perintahkan suatu amal kepadaku.’ Beliau bersabda, ‘Berpuasalah, karena ia tidak ada yang menyamainya’.”[10]

Diriwayatkan oleh an-Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya begini dengan tanpa pengulangan, dan al-Hakim dan dia menshahihkannya.

– 9 – b : Shahih

Dalam salah satu riwayat milik an-Nasa’i, (lafazhnya) berbunyi,

أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ، مُرْنِيْ بِأَمْرٍ يَنْفَعُنِيَ اللّٰهُ بِهِ. قَالَ: عَلَيْكَ باِلصِّيَامِ، فَإِنَّهُ لَا مِثْلَ لَهُ

“Aku datang kepada Rasulullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, perintahkan kepadaku sesuatu yang Allah akan memberiku manfaat dengannya.’ Beliau menjawab, ‘Berpuasalah, karena puasa tidak ada yang menyamainya’.”

– 9 – c : Shahih

Dan diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya dalam sebuah hadits, (lafazhnya) berbunyi,

قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللّٰهِ، دُلَّنِيْ عَلَى عَمَلٍ أَدْخُلُ بِهِ الْجَنَّةَ. قَالَ: عَلَيْكَ باِلصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَا مِثْلَ لَهُ. قَالَ: وَكَانَ أَبُوْ أُمَامَةَ لَا يُرَى فِيْ بَيْتِهِ الدُّخَانُ نَهَارًا إِلَّا إِذَا نَزَلَ بِهِمْ ضَيْفٌ

“Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku suatu amal yang dengannya aku masuk surga.’ Rasulullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- menjawab, ‘Berpuasalah, karena puasa tidak ada yang menyamainya’.” Dia (rawi hadits ini) berkata, ‘Di rumah Abu Umamah tidak pernah terlihat asap di siang hari kecuali jika dia kedatangan tamu’.”

(987) – 10 : Shahih

Dari Abu Sa’id -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ-, dia berkata, Rasulullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُوْمُ يَوْمًا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ تَعَالَى، إِلَّا بَاعَدَ اللّٰهُ بِذٰلِكَ الْيَوْمِ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا

“Tidak ada seorang hamba pun yang berpuasa satu hari di jalan Allah Ta’ala, kecuali Allah menjauhkan wajahnya dengan hari itu dari api neraka sejauh tujuh puluh tahun (perjalanan).”

Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, dan an-Nasa’i.

(988) – 11 : Shahih Lighairihi

Dari Amr bin Abasah -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ-, dia berkata, Rasulullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

مَنْ صَامَ يَوْمًا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ، بُعِدَتْ مِنْهُ النَّارُ مَسِيْرَةَ مِئَةِ عَامٍ

“Barangsiapa yang berpuasa satu hari di jalan Allah, maka neraka dijauhkan darinya sepanjang perjalanan seratus tahun.”

Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir dan al-Mu’jam al-Ausath dengan sanad yang tidak mengapa (La basa bihi).

(989) – 12 : Shahih

Dari Abu Hurairah -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ-, bahwa Rasulullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

مَنْ صَامَ يَوْمًا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ، زَحْزَحَ اللّٰهُ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ بِذٰلِكَ الْيَوْمِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا

“Barangsiapa yang berpuasa satu hari di jalan Allah, maka Allah akan menjauhkan wajahnya dari neraka dengan hari itu (sejauh) tujuh puluh tahun (perjalanan).”

Diriwayatkan oleh an-Nasa’i dengan sanad hasan, dan at-Tirmidzi dari riwayat Ibnu Lahi’ah, dan dia berkata, “Hadits gharib.”

Dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah dari riwayat Abdullah bin Abdul Aziz al-Laits, dan rawi-rawi yang lain adalah tsiqah.

(990) – 13 : Hasan Lighairihi

Dari Abu ad-Darda’ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ-, dia berkata, Rasulullah -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

مَنْ صَامَ يَوْمًا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ، جَعَلَ اللّٰهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّارِ خَنْدَقًا كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ

“Barangsiapa yang berpuasa satu hari di jalan Allah, maka Allah membuat parit antara dirinya dengan neraka seperti antara langit dan bumi’.”

Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath dan al-Mu’jam ash-Shaghir dengan sanad hasan.

(991) – 14 : Hasan Shahih

Dari Abu Umamah -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ-, bahwa Nabi -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

مَنْ صَامَ يَوْمًا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ، جَعَلَ اللّٰهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّارِ خَنْدَقًا كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ

“Barangsiapa yang berpuasa satu hari di jalan Allah, maka Allah membuat parit antara dirinya dengan neraka seperti antara langit dan bumi.”

Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari riwayat al-Walid bin Jamil, dari al-Qasim bin Abdurrahman, dari Abu Umamah, dia berkata, “Hadits gharib.”[11]

Beberapa kalangan dari para ulama berpendapat bahwa hadits-hadits ini berkaitan dengan keutamaan puasa dalam jihad, at-Tirmidzi dan lain-lain meletakkan bab berdasarkan ini. Sebagian yang lain berpendapat bahwa semua puasa adalah di jalan Allah, jika ia ikhlas karena wajah Allah. Akan hadir Bab Puasa Pada Waktu Jihad insya Allah.

 

Keterangan:

[1] Yakni, dia mendapatkan pahala yang terbatas kecuali puasa, pahalanya tidak terbatas. Makna ini didukung oleh riwayat Muslim yang hadir sesudahnya dengan lafazh: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ، الْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَةِ ضِعْفٍ “Setiap amal anak cucu Adam dilipatgandakan satu kebaikan dengan sepuluh kali lipatnya sampai tujuh ratus kali lipat. Allah berfirman, “Kecuali puasa…!”

[2] اَلْجُنَّةُ dengan jim dibaca dhammah: pelindung, termasuk dalam hal ini adalah اَلْمِجَنُّ perisai, dan jin dinamakan jin karena ia tidak terlihat oleh mata. Puasa itu perisai karena ia adalah menahan dari hawa nafsu, sementara neraka dikelilingi oleh hawa nafsu sebagaimana dalam hadits yang shahih,

حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ، وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ

“Surga dikelilingi oleh perkara yang tidak disukai sementara neraka diliputi oleh hawa nafsu.”

  Ibnul Atsir dalam an-Nihayah berkata, “Puasa adalah perisai, yakni melindungi pelakunya dari hawa nafsu yang menyakitinya.”

[3] Mengandung kemungkinan bahwa itu diucapkan dengan lisan agar orang yang mencela dan memeranginya mendengarnya karena hal itu biasanya membuatnya jera. Mungkin juga ucapan dalam hati, yakni hanya diucapkan dalam hatinya agar tidak membalas mencela.

  Saya berkata, Yang rajih adalah yang pertama, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, ‘Yang benar adalah dia mengucapkannya dengan lisannya sebagaimana hal itu ditunjukkan oleh hadits, karena perkataan yang mutlak tidak lain kecuali dengan lisan.’ Adapun yang ada di dalam hati, maka ia dibatasi seperti sabda Nabi,

عَمَّا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا

‘Apa yang dibicarakan dalam hatinya.’ Kemudian selanjutnya,

مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَكَلَّمْ بِهِ

‘Selama belum dikerjakan atau diucapkan.’

Jadi perkataan mutlak adalah perkataan yang didengar. Jadi jika dia berkata, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa,’ maka dia telah menjelaskan alasannya mengapa tidak membalasnya dan itu lebih membuat jera orang yang memulai dengan menyerangnya.”

[4] Yakni dengan balasan pahalanya. Dalam riwayat Ahmad, 2/232, ‘Jika dia bertemu Allah lalu Dia membalasnya, maka dia berbahagia.’ Sanadnya shahih berdasarkan syarat Muslim. Dia meriwayatkannya dalam Shahihnya, 3/158; dalam sebuah riwayat sebagaimana ia hadir di buku ini dan Ibnu Khuzaimah, no. 1900.

[5] Saya berkata, Dan juga Ahmad, juga al-Bukhari dalam sebuah riwayat dan ia di sini adalah riwayat pertama, akan tetapi tanpa, ‘Hari Kiamat’. Ia di an-Nasa’i dalam as-Sunan al-Kubra (Q, 16/2).

[6] Saya berkata, Yang dikenal dalam buku-buku bahasa dan kosa kata adalah kha’ dibaca dhammah dalam lafazhnya, ia disebutkan oleh al-Khaththabi dan lain-lain, dan itulah yang benar. Al-Khaththabi berkata, ‘Dengan kha` dibaca fathah berarti, orang yang berjanji tapi tidak memenuhinya.’ (Dikutip) secara ringkas dari al-Ujalah, 120/2-121/1.

[7] Asalnya: أَحَدُهُمْ, “Salah seorang dari mereka.” Koreksinya dari Ibnu Khuzaimah, no. 1902 dan lain-lain.

[8] Saya berkata, Ia juga diriwayatkan oleh Ahmad, no. 4/22 dengan sanad shahih. Dan diriwayatkan oleh an-Nasa’i, 1/311 dan 328 secara terpisah di dua tempat. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah tanpa menyebutkan puasa tiga hari.

[9] Yakni, Allah mengizinkan keduanya untuk memberi syafa’at kepadanya dan memasukkannya ke dalam surga. Al-Munawi berkata, “Ucapan ini bisa jadi secara hakiki, yakni pahala keduanya dibentuk menjadi tubuh dan Allah memberinya kemampuan berbicara. ‘Dan Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu.’ Bisa pula ia adalah salah satu bentuk majaz dan perumpamaan.” Saya berkata, Yang pertamalah yang harus dipastikan kebenarannya di sini dan juga di hadits-hadits yang sepertinya yang padanya terdapat penjelasan tentang amal yang diwujudkan dalam bentuk jasad, seperti harta yang tidak dizakati diwujudkan dalam bentuk ular yang botak dan masih banyak lagi. Dan menakwilkan dalil-dalil seperti ini bukanlah manhaj as-Salafus ash-Shalih, akan tetapi itu adalah metodologi Mu’tazilah dan Khalaf yang mengikuti jalan mereka, dan hal itu bertentangan dengan syarat pertama iman yaitu, ‘Orang-orang yang beriman kepada yang ghaib’. Berhati-hatilah, jangan sampai Anda meniti jalan mereka, karena Anda akan tersesat dan sengsara. Na’udzubillah.

[10] Di sini di buku asli terdapat tambahan, “Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah…’.” dan sete-rusnya untuk kali ketiga. Pemberi komentar atasnya telah menyatakan bahwa ia tidak tercantum di naskah yang lain. Karena ini yang sesuai dengan yang ada di an-Nasa’i, maka itu aku buang dan di Shahih Ibnu Khuzaimah yang tercetak tidak tercantum pengulangan sama sekali. Wallahu a’lam.

[11] Dan dari jalan ini ia diriwayatkan juga oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, 8/280-281, no. 4921. Dan dia meriwayatkannya dengan lafazh yang disebutkan oleh penulis setelah ini yang menjadi bagian buku yang lain. Dan di antara kebodohan mereka adalah bahwa mereka menyamaratakan keduanya dengan menghukuminya dhaif. Mereka menyebutkan illat yang pertama dengan adanya Muththarih bin Yazid, padahal dia tidak ada padanya. Lihat ash-Shahihah, no. 563 dan adh-Dha’ifah di bawah no. 6910.

 

Referensi:

SHAHIH AT-TARGHIB WA AT-TARHIB (1) Hadits-hadits Shahih tentang Anjuran & Janji Pahala, Ancaman & Dosa, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Darul Haq, Jakarta, Cet. V, Dzulhijjah 1436 H. / Oktober 2015 M.

NGAJI JUM’AT 1 Maret 2024

FIQIH PUASA

 

Definisi Puasa Dan Waktu Turunnya Perintah Wajib Puasa

 

(1) Definisi Puasa

Puasa menurut bahasa adalah menahan diri. Sedangkan menurut syariat, puasa adalah menahan diri dari makanan, minuman, hubungan suami istri, dan semua perkara yang membatalkan puasa mulai dari terbitnya fajar sampai dengan terbenamnya matahari dengan niat ibadah.

(2) Waktu Turunnya Perintah Wajib Puasa

Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-  telah mewajibkan puasa kepada umat Muhammad -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- sebagaimana Dia mewajibkannya kepada umat-umat terdahulu sesuai dengan FirmanNya,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (Al-Baqarah: 183).

Perintah yang mewajibkan puasa ini turun pada hari Senin bulan Sya’ban tahun kedua setelah hijrah.

 

 Keutamaan Puasa Dan Manfaat-Manfaatnya

(1) Keutamaan Puasa

Keutamaan puasa disebutkan dan ditegaskan di dalam hadits-hadits berikut.

Sabda Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-,

اَلصِّيَامُ جُنَّةٌ مِنَ النَّارِ كَجُنَّةِ أَحَدِكُمْ مِنَ الْقِتَالِ

“Puasa adalah perisai dari neraka sebagaimana perisai salah seorang di antara kalian untuk perang.” [Diriwayatkan oleh Ahmad, no. 15844 dan lain-lain. As-Suyuthi tidak berkomentar apa-apa tentang hadits ini].

مَنْ صَامَ يَوْمًا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ عَزَّ وَجَلَّ زَحْزَحَ اللّٰهُ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ بِذَلِكَ الْيَوْمِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا

“Barangsiapa berpuasa satu hari di jalan Allah –عَزَّوَجَلَّ-, maka Allah akan menjauhkan wajahnya dari neraka disebabkan (puasa) hari itu sejauh (perjalanan) tujuh puluh tahun.” [Muttafaq ‘alaih; al-Bukhari, no. 2840; Muslim, no. 1153].

إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ دَعْوَةً لَا تُرَدُّ

“Sesungguhnya orang yang berpuasa itu mempunyai doa yang tidak ditolak pada saat ia berbuka.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah 1753 dan al-Hakim, dan ia menshahihkannya].

إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ، يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، يُقَالُ: أَيْنَ الصَّائِمُوْنَ، فَيَقُوْمُوْنَ، لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، فَإِذَا دَخَلُوْا أُغْلِقَ، فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ

“Sesungguhnya di dalam surga itu terdapat sebuah pintu yang disebut ar-Rayyan, orang-orang yang berpuasa masuk (ke dalam surga) pada Hari Kiamat melalui pintu itu dan tidak ada seorang pun selain mereka yang masuk melalui pintu tersebut. Ditanyakan, ‘Di manakah orang-orang yang berpuasa?’ Kemudian mereka berdiri dan masuk melaluinya tanpa seorang pun selain mereka. Jika orang-orang yang berpuasa telah masuk, pintu tersebut ditutup sehingga tidak ada seorang pun selain mereka yang bisa masuk melaluinya.” [Muttafaq ‘alaih; al-Bukhari, no. 1896; Muslim, no. 1152].

(2) Manfaat-manfaat Puasa

Di antara manfaat-manfaat spiritual yang terdapat pada puasa adalah bahwa puasa membiasakan seseorang untuk bersabar dan menguatkannya, menga­jarkan pengendalian diri dan membantunya dalam mengendalikan diri, menumbuhkan karakter ketakwaan dalam diri dan mendidiknya, khususnya ketakwaan yang merupakan tujuan utama yang hendak dicapai setelah puasa seperti disebutkan dalam Firman Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-,

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (Al-Baqarah: 183).

Sedangkan manfaat-manfaat sosial dari puasa, di antaranya adalah bahwa puasa membiasakan umat Islam untuk hidup disiplin dan bersatu, mencintai keadilan dan persamaan, menumbuhkan perasaan sayang dan moral (akhlak) yang baik, sebagaimana ia melindungi masyarakat dari segala macam kejahatan dan kerusakan.

Dari segi kesehatan, di antara manfaat-manfaat puasa adalah bahwa puasa membersihkan usus-usus, memperbaiki lambung, membersihkan badan dari sisa-sisa makanan dan kotoran­-kotoran, serta dapat meringankan tubuh dari himpitan kegemukan dan berat badan karena lemak. Di dalam hadits Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- disebutkan,

صُوْمُوْا تَصِحُّوْا

“Berpuasalah kalian niscaya kaliah akan sehat.” [Ibnu as-Sunni dan Abu Nu’aim. As-Suyuthi menghasankannya].

 

Referensi:

Minhajul Mulim: Konsep Hidup Ideal dalam Islam, Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri, Darul Haq

NGAJI JUM’AT 8 Maret 2024

Doa Rasulullah SAW Saat Menyambut Bulan Suci Ramadhan

 

Umat Muslim sebentar lagi akan menyambut bulan suci Ramadhan yang diperkirakan akan jatuh pada Senin 11 Maret 2024. Dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadhan baiknya disambut dengan hati yang penuh suka cita dan rasa syukur karena masih dipertemukan dengan Ramadhan.

Menyambut Ramadhan Para ulama menganjurkan kepada seluruh muslim untuk senantiasa berdoa memohon ampun kepada Allah SWT.

Imam Nawawi dalam Kitab Almajmu mencantumkan hadist yang berisi doa Nabi Muhammad ketika menyambut Ramadhan,

انَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَأَى الْهِلالَ قَالَ : ” اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالْيُمْنِ وَالإِيمَانِ وَالسَّلامَةِ وَالإِسْلامِ رَبِّي وَرَبُّكَ اللَّهُ

Artinya: “Sesungguhnya Nabi SAW ketika telah melihat hilal Ramadhan, beliau berdoa; Allahumma ahillahu ‘alaina bil yumni wal imani was salamati wal islam. Rabbi wa rabbukallah (Ya Allah jadikanlah hilal (bulan) ini bagi kami dengan membawa keberkahan, keimanan, keselamatan, dan keislaman. Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah.”(HR. Tirmidzi)

Ada juga doa yang tercantum dalalm hadits riwayat Imam Ahmad:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ رَجَبٌ، قَالَ: ” اللهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ، وَبَارِكْ لَنَا فِي رَمَضَانَ “

Artinya: “Dari Sahabat Anas bin Malik, ia berkata: Nabi Muhammad bersabda ketika memasuki waktu bulan Rajab: “Ya Allah, Berkahilah kami di Bulan Rajab dan Sya’ban. Ya Allah, Berkahilah kami di Bulan Ramadhan” (HR. Ahmad, No.23460).

Dalam keterangan lain, Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki dalam kitabnya Madza fi Sya’ban menuliskan sebuah doa yang dibaca bulan Syaban telah berlalu sebagian (nisfu Syaban), bahkan dianjurkan juga untuk dibaca pada malam-malam setelahnya hingga bulan Ramadhan datang.

Menurut Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, doa inilah yang dibaca para ulama salaf. Doanya adalah:

اللهم إنك عفوٌ كريمٌ تُحب العفو فأعفُ عنّا اللهم إنا نسألك العفو والعافية والمعافاة الدائمة في الدين والدنيا والآخرة

Allahumma innaka afuwwun karim tuhibbul afwa fa’fu ‘anna. Allahumma inna nas’alukal afwa wal afiyah wal mu’afataddaimah fid diini wad dunyaa wal aakhirah.

Ya Allah sesungguhnya Engkau adalah Maha Pemaaf dan Engkau cinta maaf, maka maafkanlah kami. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kemaafan dan kesehatan dan pemeliharaan yang berkesinambungan dalam hal agama, dunia dan akhirat.

Doa ini, menurut Sayid Muhammad, dibaca agar diberi anugerah mendapatkan malam lailatul qadar. Aamiin

 

NGAJI JUM’AT 15 Maret 2024

Ambillah Faedah dari Puasamu!

(Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-‘Abbad-حَفِظَهُ اللهُ تَعَالَى, Ash-Shiyam ‘An Maa Harramallah)

 

Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى berfirman,

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“Dihalalkan bagimu pada malam puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkanmu. Maka, sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam…” (al-Baqarah : 187)

Termasuk hal yang hendaknya seorang muslim mengambil faedah dari puasanya dan memanen dari ketaatannya yang agung ini adalah hendaknya ia mengetahui bahwa wajibnya berpuasa dari makan, minum dan seluruh perkara yang membatalkan puasa waktunya di bulan Ramadhan adalah dari terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari. Adapun puasa dari perkara yang diharamkan, maka waktunya adalah sepanjang hari sepanjang tahun, bahkan sepanjang umur manusia.

 

NGAJI JUM’AT 22 Maret 2024

Keutamaan Puasa

Sumber:

Fadhlu ash-Shiyam, Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-‘Abbad-حَفِظَهُ اللهُ تَعَالَى.

 

Sesungguhnya puasa termasuk ibadah yang sangat utama dan ketaatan yang sangat agung. Tentang keutamaannya dan keagungan kedudukannya disebutkan di dalam sejumlah nash.

Di antara keutamaannya adalah bahwa Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- mewajibkannya terhadap seluruh umat. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (al-Baqarah: 183)

Kalaulah puasa bukan merupakan ibadah nan agung niscaya makhluk tidak membutuhkan untuk beribadah kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dengannya dan tidak membutuhkan pula terhadap hal yang menjadi konsensekwensi dari ibadah nan mulia ini berupa pahala apa yang Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- wajibkan terhadap semua umat. Dan, tujuan yang diharapkan dari puasa itu adalah merealisasikan ketakwaan yang diperintahkan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dan Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- wasiatkan kepada seluruh umat. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ

“Sungguh, Kami telah mewasiatkan kepada orang-orang yang diberi kitab suci sebelum kamu dan (juga) kepadamu (umat Islam) agar bertakwa kepada Allah.” (an-Nisa : 131)

Di antara keutamaannya juga adalah bahwa pahalanya tidak terikat dengan jumlah tertentu, bahkan orang yang berpuasa diberi pahala tanpa batas.

Imam al-Bukhari dan imam Muslim di dalam shahih keduanya meriwayatkan dari Abu Hurairah -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- ia berkata, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

قَالَ اللَّهُ : كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ ، وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ ، وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ ، لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ

“Allah berfirman, ‘Setiap amal anak Adam untuknya, kecuali puasa, sesungguhnya  puasa itu untuk-Ku dan Akulah yang membalasnya. Puasa itu perisai. Pada hari salah seorang di antara kalian berpuasa janganlah ia melakukan rafats dan jangan pula ia berteriak-teriak. Jika ada seseorang mencelanya atau mengajaknya bertengkar, maka hendaklah ia mengatakan (kepada orang tersebut) ‘sesungguhnya aku seorang yang tengah berpuasa.’ Demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah daripada minyak misik. Orang yang berpuasa memiliki dua kegembiraan ; kala berbuka, ia bergembira, dan kala berjumpa dengan rabbnya, ia pun bergembira karena puasanya.’”[1]

Di dalam riwayat Muslim:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ ؛ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي

“Semua amal anak Adam dilipatgandakan; satu kebaikan dibalas sepuluh kali lipatnya sampai tujuh ratus kali lipat. Allah –عَزَّوَجَلَّ– berfirman, ‘kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Akulah yang membalasnya, orang yang berpuasa itu meninggalkan syahwatnya dan makannya karena Aku.’ [2]

Hadis nan agung ini menunjukkan akan keutamaan puasa dari beberapa sisi yang telah diperinci oleh syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin -رَحِمَهُ اللهُ-,

Pertama, Bahwa Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- mengkhususkan puasa untuk diri-Nya di antara semua bentuk amal-amal yang lainnya. Hal demikian itu oleh karena kemuliaan amal tersebut di sisi-Nya, kecintaan-Nya terhadap amal tersebut, dan tampaknya keikhlasan (pemurnian amal) bagi-Nya -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– pada amal tersebut; karena amal tersebut merupakan rahasia antara seorang hamba dan rabbnya, tak ada yang dapat melihatnya kecuali Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– , karena sesungguhnya orang yang tengah berpuasa itu boleh jadi berada di tempat yang sepi dari manusia yang memungkinkan dirinya untuk mengonsumsi sesuatu yang diharamkan oleh Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- atas dirinya karena ia tengah berpuasa, namun ia tidak mengonsumsinya karena ia mengetahui bahwa ia memiliki rabb yang mengetahui dirinya dalam kesendiriannya, sementara Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- telah mengharamkan dirinya melakukan hal tersebut. Maka, ia pun meninggalkannya karena Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- karena takut terhadap azab-Nya dan menginginkan pahala-Nya. Maka dari itu Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berterima kasih kepadanya akan keikhlasan ini dan mengkhususkan puasanya tersebut untuk diri-Nya sendiri dari seluruh bentuk amal-amal yang dilakukannya. Oleh karena itu, Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي

“Orang yang berpuasa itu meninggalkan syahwatnya dan makannya karena Aku.”

Dan faedah pengkhususan ini akan tampak pada hari Kiamat, seperti kata Sufyan bin Uyainah -رَحِمَهُ اللهُ-, ”Pada hari Kiamat nanti Allah -عَزَّ وَجَلّ- akan menghisab hamba-Nya dan menunaikan hak-haknya dari seluruh amalnya hingga tidak tersisa kecuali amal puasa. Maka Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menanggung hak-haknya yang masih tersisa dan Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- memasukkan si hamba tersebut ke dalam Surga karena amal puasa tersebut.” [3]

Kedua, Bahwa Allah -عَزَّ وَجَلّ- berfirman tentang puasa, (( وَأَنَا أَجْزِي بِهِ ))   dan Akulah yang membalasnya, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menyandarkan balasan itu kepada diri-Nya sendiri yang mulia karena amal-amal saleh itu dilipatgandakan pahalanya dengan jumlah tertentu, satu kebaikan dibalas sepuluh kali lipatnya sampai tujuh ratus kali lipat hingga belipat-lipat ganda banyaknya. Adapun amal puasa, Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- menyandarkan pemberian balasannya kepada diri-Nya sendiri tanpa menyebutkan bilangannya, sementara Dia -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– Dzat yang Maha Dermawan dari semua yang dermawan, dan pemberian itu seukuran pemberinya, sehingga pahala orang yang berpuasa itu besar dan banyak tanpa perhitungan, dan pada puasa itu terkumpul kesabaran dengan semua macamnya, yaitu, sabar dalam ketaatan kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, sabar dari segala hal yang diharamkan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, dan sabar terhadap takdir-takdir Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- yang menyakitkan berupa rasa lapar, haus, kelemahan badan dan jiwa. Sehingga terkumpul pada puasa itu tiga macam kesabaran, dan terealisasilah bahwa orang yang berpuasa itu termasuk golongan orang-orang yang sabar, sementara Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– telah berfirman,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa perhitungan. (az-Zumar: 10)

Ketiga, Bahwa puasa merupakan junnah; yakni, pencegah dan penghalang yang mencegah dan menghalangi orang yang berpuasa dari sesuatu yang sia-sia dan rafats, oleh karena itu, beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ

“Pada hari salah seorang di antara kalian berpuasa janganlah ia melakukan rafats dan jangan pula ia berteriak-teriak.”

Dan juga melindungi diri orang yang berpuasa dari Neraka.

Imam Ahmad di dalam Musnadnya meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah -رَضِيَ اللهُ َنْهُ-bahwa Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

الصِّيَامُ جُنَّةٌ يَسْتَجِنُّ بِهَا الْعَبْدُ مِنْ النَّارِ

“Puasa itu merupakan junnah di mana seorang hamba melindungi dirinya dengannya dari Nereka.”[4]

Keempat, Bahwa bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- daripada bau misik, karena hal tersebut berasal dari dampak puasa sehingga harum di sisi Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dan dicintai-Nya. Dan hal ini merupakan dalil yang menunjukkan akan agungnya kedudukan puasa di sisi Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-, hingga sesuatu yang tidak disukai dan dianggap menjijikan di sisi manusia menjadi sesuatu yang dicintai di sisi Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dan baik karena hal itu muncul dari ketaatan kepada-Nya dengan berpuasa.

Kelima, Bahwa orang yang berpuasa memiliki dua kegembiraan; kegembiraan kala berbuka dan kala berjumpa dengan rabbnya. Adapun kegembiraan kala berbuka, maka ia gembira dengan apa yang Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- karuniakan kepadanya berupa dapat melaksanakan ibadah puasa yang merupakan amal shaleh yang paling utama, dan betapa banyak manusia yang terhalangi untuk melakukannya sehingga mereka tidak berpuasa, dan ia pun gembira dengan sesuatu yang dibolehkan oleh Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- baginya berupa makanan, minuman, dan melakukan hubungan intim suami-istri yang sebelumnya diharamkan kala tengah berpuasa. Adapun kegembiraannya kala berjumpa dengan rabbnya, maka ia gembira dengan puasanya saat ia mendapatkan balasannya di sisi Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى– secara penuh di waktu ia sangat membutuhkannya ketika dikatakan, ‘di manakah orang-orang yang berpuasa itu, hendaknya mereka masuk Surga dari pintu ar-Rayyan yang mana tak seorang pun selain mereka yang memasukinya.’

Termasuk pula keutamaan puasa adalah bahwa pada hari Kiamat puasa itu akan memberikan syafaat kepada orang yang mengerjakannya.

Imam Ahmad, ath-Thabrani dan al-Hakim meriwayatkan dari Abdullah bin Amr -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -, dan al-Hakim mengatakan ‘shahih berdasarkan persyaratan Muslim’ bahwa Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– bersabda,

الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ؛ يَقُولُ الصِّيَامُ أَيْ رَبِّ مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ ، وَيَقُولُ الْقُرْآنُ مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ ، قَالَ فَيُشَفَّعَانِ

“Puasa dan al-Qur’an akan memberikan syafa’at terhadap seorang hamba pada hari Kiamat ; puasa akan mengatakan, ‘Wahai rabbku! Aku telah mencegahnya makan dan minum di siang hari, maka izinkanlah aku untuk memberikan syafaat kepadanya.’ Dan, al-Qur’an pun akan mengatakan, ‘Aku telah mencegahnya tidur di malam hari, maka izinkanlah aku untuk memberikan syafaat kepadanya.’ Beliau bersabda, ‘Lalu keduanya (puasa dan al-Qur’an) memberikan syafaat.” [5]

Termasuk pula keutamaan puasa adalah bahwa bagi orang-orang yang berpuasa diberikan sebuah pintu di Surga yang dinamakan ar-Rayyan di mana tidak akan ada yang masuk melalui pintu tersebut melainkan orang-orang yang berpuasa.

Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Sahl bin Sa’d -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ– bahwa Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – bersabda,

إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ

“Sesungguhnya di Surga ada pintu yang disebut ar-Rayyan, pada hari Kiamat orang-orang yang berpuasa akan masuk melalui pintu tersebut. Tidak akan ada seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut selain mereka. Akan dikatakan, ‘di manakah orang-orang yang berpuasa itu ?’ maka mereka pun berdiri. Tak akan ada seorang pun yang masuk melalui pintu tersebut selain mereka. Lalu, apabila mereka telah masuk, pintu tersebut ditutup, sehingga tak seorang pun akan masuk melalui pintu tersebut.” [6]

Termasuk pula keutamaan puasa adalah bahwa seorang hamba apabila melaksanakannya sebagaimana yang disyariatkan dan menunaikannya dengan penuh keikhlasan kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dan mengikuti rasul-Nya -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– hal tersebut akan mendatangkan banyak buah nan indah; berupa kekokohan di atas kebenaran, bertambahnya keimanan, kuatnya keyakinan, terhiasi dengan akhlak yang indah, terkendalikannya syahwat, menumbuh suburkan amal-amal hati berupa rasa takut, harapan dan kecintaan (kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-) dan amalan hati yang lainnya. Ibnu al-Qayyim-رَحِمَهُ اللهُ –mengatakan,“Dan maksudnya adalah bahwa kemaslahatan-kemaslahatan puasa ketika dapat disaksikan dengan akal sehat dan fithrah yang lurus, Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- mensyariatkannya terhadap para hamba-Nya sebagai bentuk kasih sayang-Nya terhadap mereka, dan sebagai bentuk kebaikan kepada mereka, serta sebagai penjagaan dan tameng bagi mereka. [7]

Ya Allah! Bimbinglah kami untuk dapat melakukan apa-apa yang Engkau cintai dan Engkau ridhai.

Pegang dan kendalikanlah ubun-ubun kami untuk melakukan kebaikan dan ketakwaan.

Ajarilah kami hal-hal yang belum kami ketahui. Jadikanlah bermanfaat apa-apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami.

Dan, jadikanlah kami termasuk golongan orang-orang yang mengetahui tentang keutamaan puasa dan golongan orang-orang yang mengamalkannya dengan konsekwensinya berupa keikhlasan, melaksanakan secara baik, dan menyempurnakannya sesuai dengan apa yang akan mendatangkan keridhaan-Mu.

Amin

Wallahu A’lam

 

 

 

NGAJI JUM’AT 29 Maret 2024

Etika Berpuasa

Sumber:
Mukhalafat Ramadhan, Abdul Aziz bin Muhammad as-Sadhan, 31-38

 

Menginginkan Ridha-Nya

Pertama kali yang perlu disebutkan, hendaknya seorang muslim yang berpuasa menginginkan ridha Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- semata, dalam keadaan beriman dan mengharap pahala-Nya. Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu diampuni.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dalam redaksi lain menurut riwayat Ahmad: diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.

Niat

Sebelum seseorang berpuasa, maka ia harus berniat puasa terlebih dahulu, berdasarkan sabda Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-,

مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ

Barangsiapa tidak berniat puasa sebelum terbit fajar, maka tidak ada puasa baginya.” (HR. al-Baihaqi)

Dalam riwayat an-Nasai disebutkan:

مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَلَا صِيَامَ لَهُ

“Barangsiapa tidak berniat puasa pada malam hari, maka tidak ada puasa baginya.”

Tidak Menyia-nyiakan Sahur

Seorang muslim hendaknya berusaha sekuat tenaga untuk tidak menyia-nyiakan makan sahur. Dalam makan sahur terdapat banyak kebaikan dan pahala melimpah. Bila itu ditinggalkan, berarti ia telah menghalangi diri dari mendapatkan pahala berlimpah.

Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadis Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَbahwa beliau bersaba,

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً

“Makan sahurlah kalian, karena dalam makan sahur terdapat berkah.”

Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَjuga bersaba,

السَّحُورُ كُلُّهُ بَرَكَةٌ فَلَا تَدَعُوهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ

“Sahur itu semuanya merupakan berkah, maka janganlah kalian meninggalkannya meski hanya minum seteguk air. Karena Allah dan para malaikat-Nya mengucapkan shalawat kepada orang-orang yang sahur.” (HR. Ahmad)

Seorang sahabat Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَberkata, “Aku pernah masuk menemui Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَketika beliau sedang makan sahur. Beliau lalu bersabda, ‘Sesungguhnya makan sahur adalah berkah yang diberikan Allah kepada kalian. Maka, janganlah kalian tinggalkan’.”

Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَbersabda,

اَلْبَرَكُةُ فِي ثَلَاثَةٍ : اَلْجَمَاعَةِ وَالثَّرِيْدِ وَالسَّحُوْرِ

“Berkah itu ada dalam tiga hal; berjamaah, tsarid (bubur daging), dan makan sahur.” (HR. Thabrani)

Di antara keutamaan makan sahur, bahwa perbuatan ini sebagai pembeda antara puasa orang Islam dengan puasa Ahli kitab.

Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَbersabda,

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَ صِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحُوْرِ

“Perbedaan antara puasa kita dan puasa ahli kitab adalah dalam makan sahur.” (HR. Ad-Darimi, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah)

Bila hal itu telah diketahui,  maka keutamaan makan sahur itu lebih besar lagi bila diakhirkan, sebab dalam hal ini ada kebaikan yang banyak. Nabi-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَbiasa mengakhirkan makan sahur.

Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-ia berkata,

تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالسَّحُورِ قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً

“Kami pernah makan sahur bersama Nabi –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– , setelah itu beliau bangkit menuju shalat. Anas bertanya, ‘Berapa lama waktu antara adzan dan makan suhur? ‘ Zaid menjawab, ‘Sekira-kira bacaan 50 ayat.”

Diriwayatkan dari Abu Darda’, ”Ada tiga akhlak kenabian; menyegerakan berbuka puasa, mengakhirkan makan sahur, dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di dalam shalat.” (HR. Thabrani dan dihukumi hadis marfu’ sebagaimana pernyataan para ulama).

Keutamaan makan sahur menjadi lebih bagus bila makan dengan kurma, atau disertai kurma. Ini berdasarkan sabda Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-,

نِعْمَ سَحُوْرُ الْمُؤْمِنِ التَّمْرُ

“Makan sahur terbaik bagi orang beriman adalah kurma.” (HR. Abu Dawud dan lainnya)

Besiap shalat Subuh

Bila seorang mukmin telah menyelesaikan sahurnya, hendaknya ia segera bersiap-siap untuk menunaikan shalat Subuh. Jangan ia menyepelekannya, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang yang makan sahur lalu tidur hingga tidak mengerjakan shalat Subuh. Cukuplah itu dianggap sebagai musibah dan tindakan penyepelean, terutama bila malamnya ia bergadang.

Manfaatkan semua waktu untuk kebaikan

Seorang mukmin harus memanfaatkan semua waktu puasanya untuk kebaikan dengan segala macamnya. Misalnya, membaca al-Qur’an, istighfar, dan lainnya.

Segera berbuka

Bila telah dekat waktu berbuka, hendaknya ia mengingat sunnah-sunnah yang biasa dikerjakan Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-, di antaranya segera berbuka. Imam al-Bukhari dan Muslim mengeluarkan sebuah hadis yang marfu’ dari Sahl  bin Sa’ad -رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, disebutkan:

لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا الْفِطْرَ

“Manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.”

Dari Abu Hurairah-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-diriwayatkan hadis marfu’ :

لاَ يَزَالُ الدِّينُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ لِأَنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُونَ

“Agama Islam senantiasa unggul selama pemeluknya menyegerakan berbuka, karena kaum Yahudi dan Nasrani mengakhirkan (berbuka).” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Sebelumnya, telah disebutkan hadis dari Abu Darda’-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- bahwa ada tiga akhlak kenabian dan salah satunya adalah menyegerakan berbuka puasa.

Berbuka dengan  kurma

Termasuk sunnah, orang yang puasa hendaknya berbuka dengan kurma. Bila tidak mendapatkannya, cukuplah dengan air. Diriwayatkan dari Salman bin ‘Amir Adh-Dhabi-رَضِيَ اللهُ عَنْهُ-, ia berkata, Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَbersabda,

إِذَا أَفْطَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى تَمْرٍ فَإِنَّهُ بَرَكَةٌ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى الْمَاءِ فَإِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ

Bila salah seorang di antara kalian berbuka puasa, hendaklah berbuka dengan kurma, sebab itu mengandung berkah. Bila tidak mendapatkan kurma, maka dengan air, sebab air itu suci.” (HR. Ahmad dan Penulis kitab-kitab Sunan)

Rahasia Menakjubkan

Mengawali buka puasa dengan kurma itu memiliki rahasia yang menakjubkan. Beberapa pakar kedokteran menyebutkan bahwa usus itu menyerap zat gula yang bersifat mudah dicerna dalam waktu kurang dari 5 menit. Badan pun jadi terasa segar dan hilanglah kekurangan zat gula dan cairan. Sebab, gula darah dalam tubuh akan menurun pada saat berpuasa, sehingga terkadang menyebabkan rasa lapar dan terkadang agak lemas. Kondisi ini akan cepat hilang bila mengonsumsi makanan yang mengandung zat gula.

Pakar lainnya mengatakan, “Alasan berbuka dengan air, karena ketika berpuasa badan mengalami semacam kekeringan. Bila dibasahi dengan air, maka tubuh akan lebih sempurna dalam memfungsikan makanan.” Semoga shalawat dan salam senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi kita Muhammad -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَyang mengasihi dan menyayangi umatnya.

Berdoa ketika berbuka puasa

Termasuk amalan sunnah, orang yang berpuasa hendaknya berdoa ketika berbuka puasa. Ada anjuran dalam hal ini dari Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-. Beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَbersabda,

ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ : اَلصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَاْلِإمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ

“Ada tiga orang yang tidak ditolak doanya; orang yang berpuasa sampai berbuka, imam yang adil, dan doa orang yang dianiaya. (HR. ath-Thabrani)

Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَjuga bersabda,

“Ada tiga doa yang dikabulkan; doa orang yang berpuasa, doa orang yang dianiaya, dan doa orang yang bepergian.”

Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَjuga bersabda, “Ada tiga doa yang tidak ditolak; doa orang tua untuk anaknya, doa orang yang berpuasa, dan doanya orang yang bepergian.”

Berdoa dengan doa Nabi –صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Termasuk amalan sunnah, orang yang berpuasa hendaknya berdoa dengan doa yang diwariskan dari Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-. Ketika berbuka puasa, beliau -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَberdoa:

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

“Telah hilang rasa dahaga, telah basah kerongkongan, dan tetaplah pahalanya insya Allah.” (HR. Abu Dawud)

Mengajak orang lain berbuka bersama

Seorang muslim hendaknya berusaha mengajak orang lain untuk berbuka puasa bersamanya. Ada sebuah riwayat, bahwa Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– bersabda, “Barangsiapa memberi makanan berbuka kepada orang yang puasa, atau menyiapkan perbekalan seorang pejuang, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala mereka.”

Rasulullah -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ– juga  bersabda,

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الصَّائِمِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

Barangsiapa memberi makanan berbuka kepada orang yang berpuasa, maka ia memperoleh pahala seperti pahala orang yang berpuasa, tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang yang berpuasa itu.” (HR. Ahmad)

Karena itu, kita semua harus memiliki obsesi untuk segera berbuat kebaikan. Pasalnya, dagangan Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- itu mahal. Kami memohon kepada-Mu; ya Allah, jadikanlah kami dan dan saudara-saudara sesama muslim termasuk orang-orang yang menunaikan puasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap pahala.

Jadikanlah amal kami yang terbaik sebagai penutup hidup kami dan hari-hari terbaik kami adalah saat bertemu dengan-Mu.

Sebagai catatan, bahwa sebuah ibadah harus memenuhi dua syarat utama, yaitu ikhlash kepada Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- dan mengikuti petunjuk Rasul -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –. Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- berfirman,

فَادْعُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

Maka, sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya,  meskipun orang-orang kafir tidak menyukai(nya). (al-Ghafir: 14)

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. (al-Hasyr: 7)

Dalam beribadah, hendaknya seorang muslim meneladani Nabi -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –, baik dalam perkataan maupun amal perbuatan, dan ikhlas hanya untuk Allah -سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى- semata.

Wallahu A’lam

NGAJI JUM’AT 05 April 2024

Jadilah Orang yang Paling Besar Pahalanya dalam Berpuasa

 

(HR. Ahmad, no. 15614)

Orang yang paling besar pahalanya di bulan Ramadhan adalah orang yang paling banyak mengingat Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى

Telah datang di dalam al-Musnad, dari Mu’adz al-Juhani رَضِيَ اللهُ عَنْهُ bahwa seorang lelaki bertanya kepada Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ seraya mengatakan,

أَيُّ الصَّائِمِينَ أَعْظَمُ أَجْرًا؟

“Siapakah orang-orang yang berpuasa yang paling besar pahalanya?”,
Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pun menjawab,

أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ ذِكْرًا

“Siapa di antara mereka yang paling banyak mengingat Allah.”

Beliau juga ditanya tentang orang-orang yang shalat, orang-orang yang berhaji, dan orang-orang yang bersedekah (siapakah di antara mereka yang paling besar pahalanya?). Kesemua pertanyaan tersebut dijawab beliau dengan,

أَكْثَرُهُمْ لِلَّهِ ذِكْرًا

“Siapa di antara mereka yang paling banyak mengingat Allah.”

Yakni, orang yang paling besar pahalanya dalam melakukan setiap ketaaan adalah siapa di antara mereka yang paling banyak mengingat Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى di dalam melakukan ketaatan-ketaatan tersebut.

Abu Bakar رَضِيَ اللهُ عَنْهُ pun berujar,

ذَهَبَ الذَّاكِرُونَ بِكُلِّ خَيْرٍ

“Orang-orang yang mengingat Allah telah pergi dengan membawa semua kebaikan.”

Maka, Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda,

أَجَلْ

“Ya, tentu saja!”

 

NGAJI JUM’AT 12 April 2024

ZAKAT FITRAH

 

Sumber:

Minhajul Mulim: Konsep Hidup Ideal dalam Islam, Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri, Darul Haq, Jakarta, Cet. VIII,

 

A. Hukum Zakat Fitrah

Zakat fitrah adalah suatu kebiasaan yang wajib (sunnah wâjibah) atas setiap individu kaum Muslimin. Hal ini didasarkan pada ucapan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma,

فَرَضَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ، عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ، وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى، وَالصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan sebanyak 1 (satu) sha’ [2,176 kg] kurma atau 1 (satu) sha’ gandum atas budak maupun orang merdeka, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun orang dewasa dari kaum Muslimin.” (Muttafaq ‘alaih; al-Bukhari, no. 1512; Muslim, no. 984).

B. Hikmah Zakat Fitrah

Di antara hikmah zakat fitrah adalah bahwa zakat fitrah membersihkan jiwa orang yang berpuasa dari segala sesuatu yang mengotorinya disebabkan pengaruh kelalaiannya dan kata-kata keji, sebagaimana zakat fitrah ini menjadikan orang-orang fakir dan orang-orang miskin tidak perlu lagi meminta-minta pada Hari Raya Idul Fitri. Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

فَرَضَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewajibkan zakat fitrah untuk membersihkan orang yang berpuasa dari kelalaian dan kata-kata keji dan untuk memberi makan kepada orang-orang miskin.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 1609 dan lbnu Majah 1827, dan dishahihkan oleh al-Hakim 1/568).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

أُغْنُوْهُمْ عَنِ السُّؤَالِ فِيْ هٰذَا الْيَوْمِ

“Bebaskanlah mereka (orang-orang fakir) dari meminta-minta pada hari ini (Idul Fitri).” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi 4/175 dan sanadnya dhaif).

C. Ukuran Zakat Fitrah dan Jenis-jenis Makanan yang Dapat Dikeluarkan Sebagai Zakat Fitrah

Ukuran zakat fitrah adalah 1 (satu) sha’. Sedangkan 1 (satu) sha’ sama dengan 4 (empat) genggaman dua telapak tangan dan dikeluarkan dari makanan pokok yang dimakan oleh mayoritas penduduk setempat, baik berupa gandum (qamh atau sya’ir), kurma, beras, kismis (zabib) maupun keju (aqith), berdasarkan ucapan Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu,

كُنَّا إِذَا كَانَ فِيْنَا رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ كُلِّ صَغِيْرٍ وَكَبِيْرٍ، حُرٍّ أَوْ مَمْلُوْكٍ، صَاعًا مِنْ طَعَامٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ، (اَللَّبَنِ الْمُجَفَّفِ) أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيْبٍ

“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih ada bersama kami, kami mengeluarkan zakat fitrah untuk setiap anak kecil dan orang dewasa, orang merdeka dan budak, sebesar 1 sha’ makanan, 1 sha’ aqith (susu kering), 1 sha’ gandum, 1 sha’ kurma, atau 1 sha’ anggur kering.” (Muttafaq ‘alaih; al-Bukhari, no. 1506; Muslim, no. 985).

D. Zakat Fitrah Tidak Dikeluarkan dari Selain Makanan

Zakat fitrah yang wajib dikeluarkan adalah dari jenis-jenis makanan dan tidak boleh diganti dengan uang kecuali dalam kondisi darurat, karena tidak ada petunjuk yang menegaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membayar zakat fitrah dengan uang sebagai pengganti makanan, bahkan tidak ada satu riwayat pun yang menyebutkan bahwa para sahabat mengeluarkan zakat fitrah dengan uang.

E. Waktu Wajib Zakat Fitrah dan Waktu Mengeluarkannya

Zakat fitrah wajib pada saat datangnya malam Idul Fitri. Sedangkan waktu-waktu untuk mengeluarkannya: Waktu diperbolehkannya menge­luarkan zakat fitrah, yaitu satu hari atau dua hari sebelum Idul Fitri, karena Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah melakukan hal itu. Waktu menge­luarkan zakat fitrah yang utama adalah sejak terbitnya fajar Hari Raya Idul Fitri sampai menjelang Shalat Id, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar mengeluarkan zakat fitrah sebelum manusia keluar untuk melaksanakan shalat Idul Fitri dan ucapan Abdulah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang menyebutkan,

فَرَضَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ، مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewajibkan zakat fitrah untuk membersihkan orang yang berpuasa dari kelalaian dan kata-kata keji dan untuk memberi makan kepada orang-orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat (Idul Fitri), maka itu adalah zakat (fitrah) yang diterima, dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat (Idul Fitri), maka ia adalah suatu sedekah dari sedekah-sedekah (biasa pada waktu selainnya). (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 1609 dan Ibnu Majah, no. 1827).

Waktu qadha’ (mengganti) untuk mengeluarkan zakat fitrah yaitu dari setelah shalat Idul Fitri dan seterusnya. Zakat fitrah bisa dilakukan pada waktu ini dan telah mendapat pahala tetapi hukumnya makruh.[1]

F. Penerima Zakat Fitrah

Penerima zakat fitrah adalah kelompok-kelompok yang berhak menerima zakat-zakat lain pada umumnya. Tetapi orang-orang fakir dan miskin lebih utama untuk mendapatkan zakat fitrah daripada kelompok-kelompok yang lain, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

أُغْنُوْهُمْ عَنِ السُّؤَالِ فِيْ هٰذَا الْيَوْمِ

“Bebaskanlah mereka (orang-orang fakir) pada hari ini (Idul Fitri) dari meminta-minta.”

Oleh karena itu, zakat fitrah tidak boleh diberikan kepada selain orang-orang fakir kecuali jika tidak ada orang-orang fakir, kefakiran mereka yang ringan, atau ada kelompok dari yang berhak menerima zakat yang lebih membutuhkannya.

 

Catatan:

(1) Istri yang kaya boleh memberikan zakat fitrahnya untuk suaminya yang fakir. Sebaliknya, suami tidak boleh memberikannya untuk istrinya, karena memberikan nafkah kepada istri adalah kewajiban suami, sedangkan memberikan nafkah kepada suami bukan merupakan kewajiban istri.

(2) Zakat fitrah tidak wajib dilaksanakan (gugur) atas orang yang tidak mempunyai makanan pada hari pelaksanaannya karena Allah tidak membebani hambaNya kecuali sesuai dengan kesanggupannya.

(3) Orang yang mempunyai sedikit kelebihan makanan pada hari pelaksanaan zakat fitrah, kemudian ia mengeluarkannya, maka ia akan mendapatkan pahala karenanya, sebagaimana Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan,

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertakwalah kamu sekalian kepada Allah semampu kamu.” (At-Taghabun: 16).

(4) Zakat fitrah dari satu orang dapat diberikan kepada beberapa orang, demikian pula sebaliknya, zakat fitrah dari beberapa orang dapat diberikan kepada satu orang; karena perintah zakat fitrah dari Pembuat Syari’at adalah bersifat bebas (mutlaq) dan tidak bersyarat atau terikat (muqayyad).

(5) Zakat fitrah wajib atas seorang Muslim di dalam negeri di mana ia tinggal.

(6) Zakat fitrah tidak dapat dipindahkan dari satu negeri ke negeri lain kecuali dalam keadaan darurat. Keberadaan zakat fitrah sama dengan keberadaan zakat yang lain.

__________

[1]  (Para ulama berbeda pendapat tentang mengqadha’ zakat setelah Shalat Idul Fitri. Sebagian mereka membolehkannya selama belum lewat Hari Idul Fitri ketika itu. Ed.T.)

 

NGAJI JUM’AT 26 April 2024

Keutamaan Surat Al-Ikhlas

Sumber:

Mausu’ah Al-Ahadits An-Nabawiyah (Arabi-Indunisi), Jilid 1, Markaz Rawwad At-Tarjamah, Rabwah, KSA.

Hadits:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ رَجُلاً عَلَى سَرِيَّةٍ فَكَانَ يَقْرَأُ لأَصْحَابِهِ فِي صَلاتِهِمْ , فَيَخْتِمُ بـ ” قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ” فَلَمَّا رَجَعُوا ذَكَرُوا ذَلِكَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : سَلُوهُ لأَيِّ شَيْءٍ يَصنَع ذَلِكَ ؟ فَسَأَلُوهُ . فَقَالَ : لأَنَّهَا صِفَةُ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ , فَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أَقْرَأَ بِهَا . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَخْبِرُوهُ : أَنَّ اللهَ تَعَالَى يُحِبُّهُ

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus seorang sahabat untuk memimpin pasukan sariyah (perang yang tidak diikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam). Sahabat ini senantiasa mengimami shalat pasukannya dan mengakhiri bacaannya dengan (surah) Qul Huwallahu Ahad. Ketika kembali ke Madinah mereka melaporkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lantas beliau bersabda, “Tanyakan kepadanya apa alasan dia melakukan itu?” Maka mereka menanyakan kepadanya, lalu ia menjawab, “Karena di dalamnya terdapat sifat Allah dan aku senang membacanya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Beritahukan kepadanya bahwa Allah menyintainya.

Derajat hadits: Hadits shahih

Rawi Hadits: Muttafaqun ‘Alaihi (Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim rahimahumallah)

Sumber: Umdatul Ahkam, Al-Imam Al-Hafizh Abdul Ghani bin Abdul Wahid Al-Maqdisi rahimahullah (w. 600 H./1203 M.), Bab al-Qira’ah fish Shalah, No Hadits. 108.

Makna global:

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat salah seorang sahabat menjadi pemimpin ekspedisi untuk mengatur siasat perang dan memutuskan perkara di antara mereka agar tidak terjadi kekacauan dan kisruh. Beliau senantiasa memilih orang yang paling cakap agamanya, keilmuannya dan strategi perangnya. Oleh sebab itu, semua pemimpin pasukan perang pasti menjadi imam shalat sekaligus menjadi mufti karena keutamaan agama dan kapasitas keilmuannya.

Pemimpin yang ditunjuk itu selalu membaca surah “Qul Huwallahu Aḥad” di rakaat kedua dalam salat berjamaah karena rasa cintanya kepada Allah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dan siapapun yang menyintai sesuatu pasti selalu ingat dan menyebutnya. Ketika kaum Muslimin kembali dari perang, mereka menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan melaporkan kebiasaan sang pemimpin. Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tanyakan kepadanya apa alasannya melakukan itu, apakah kebetulan saja ataukah ada alasan khusus?” Sang pemimpin menjawab, “Aku membacanya karena surah tersebut mengandung sifat-sifat Allah, sehingga aku senang mengulang-ulanginya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Beritahukan kepadanya, sebagaimana ia mengulang-ulang membaca surah tersebut karena kecintaannya -sebab surah ini mencakup sifat-sifat Allah yang otomatis menunjukkan nama-nama Allah di dalamnya- maka Allah menyintainya.” Alangkah besarnya keutamaan surah itu.

 

Pelajaran Hadits:

(1) Dibolehkannya membaca Qishar al-Mufashshal (surat-surat pendek dimulai dari surat al-Insyirah hingga surat an-Nas) di dalam shalat-shalat fardhu, tidak hanya dalam shalat Maghrib saja.

(2) Keutamaan Surat Al-Ikhlas dan keutamaan membacanya.

(3) Pengutamaan sebagian Al-Qur’an atas sebagian yang lain adalah karena di dalamnya terkandung pengagungan dan pujian kepada Allah. Surat yang mulia nan agung ini mencakup Tauhid al-I’tiqad wal Ma’rifah (Tauhid Rububiyah dan Tauhid Asma wa Shifat) dan apa yang wajib ditetapkan bagi Allah yaitu al-ahadiyah (keesaan) yang meniadakan sekutu bagiNya dan ash-shamadiyah (Tuhan yang bergantung kepadaNya segala sesuatu) yang menetapkan semua sifat kesempurnaan bagi Allah; dan peniadaan orang tua dan anak bagiNya, yang menjadi konsekuensi dari sifat mahakayaNya (tidak butuh kepada makhluk); dan peniadaan kesetaraan bagiNYa dimana tiada sesuatu pun yang sepertiNya. Karena itu, surat ini setara dengan sepertiga dari Al-Qur’an.

(4) Pahala suatu amal ditulis karena niat baik yang menyertainya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menanyakan niat mengulang-ulang membacanya.

(5) Pemangku kekuasaan dan kepemimpinan hendaknya harus dari orang yang berilmu, berbudi luhur dan beragama.

(6) Barang siapa yang mencintai sifat-sifat Allah dan merasakan manisnya munajat kepadaNya dengan bertawasul dengan sifat-sifatNya, maka Allah Ta’ala akan mencintainya. Karena balasan sebanding dengan jenis perbuatan.

(7) Melaporkan kepada pemimpin tertinggi (kepala pemerintahan, dll) tentang tindakan para pemimpin dan pegawai untuk tujuan perbaikan bukanlah fitnah atau namimah (adu domba).

(8) Disyariatkan mengirim pasukan untuk memerangi orang-orang kafir dan disyariatkan mengangkat pemimpin untuk mengomandoi mereka.

(9) Pemimpin mereka lebih berhak menjadi imam mereka dalam shalat, karena dialah pemilik otoritas atas mereka.

(10) Disyariatkan memverifikasi masalah sebelum memberikan keputusan, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Tanyakan kepadanya apa alasan dia melakukan itu?

(11) Penetapan sifat mahabbah (cinta) bagi Allah Ta’ala.

(12) Dibolehkan membaca dua surah atau lebih dalam satu rakaat.

(13) Diperbolehkan untuk memilih sebagian dari Al-Qur’an dengan memperbanyak membacanya

 

 
 

 

 

NGAJI JUM’AT 19 April 2024

Keutamaan Surat Al-Ikhlas

Sumber:

Mausu’ah Al-Ahadits An-Nabawiyah (Arabi-Indunisi), Jilid 1, Markaz Rawwad At-Tarjamah, Rabwah, KSA.

Hadits:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ رَجُلاً عَلَى سَرِيَّةٍ فَكَانَ يَقْرَأُ لأَصْحَابِهِ فِي صَلاتِهِمْ , فَيَخْتِمُ بـ ” قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ” فَلَمَّا رَجَعُوا ذَكَرُوا ذَلِكَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : سَلُوهُ لأَيِّ شَيْءٍ يَصنَع ذَلِكَ ؟ فَسَأَلُوهُ . فَقَالَ : لأَنَّهَا صِفَةُ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ , فَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أَقْرَأَ بِهَا . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَخْبِرُوهُ : أَنَّ اللهَ تَعَالَى يُحِبُّهُ

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus seorang sahabat untuk memimpin pasukan sariyah (perang yang tidak diikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam). Sahabat ini senantiasa mengimami shalat pasukannya dan mengakhiri bacaannya dengan (surah) Qul Huwallahu Ahad. Ketika kembali ke Madinah mereka melaporkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lantas beliau bersabda, “Tanyakan kepadanya apa alasan dia melakukan itu?” Maka mereka menanyakan kepadanya, lalu ia menjawab, “Karena di dalamnya terdapat sifat Allah dan aku senang membacanya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Beritahukan kepadanya bahwa Allah menyintainya.

Derajat hadits: Hadits shahih

Rawi Hadits: Muttafaqun ‘Alaihi (Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim rahimahumallah)

Sumber: Umdatul Ahkam, Al-Imam Al-Hafizh Abdul Ghani bin Abdul Wahid Al-Maqdisi rahimahullah (w. 600 H./1203 M.), Bab al-Qira’ah fish Shalah, No Hadits. 108.

Makna global:

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat salah seorang sahabat menjadi pemimpin ekspedisi untuk mengatur siasat perang dan memutuskan perkara di antara mereka agar tidak terjadi kekacauan dan kisruh. Beliau senantiasa memilih orang yang paling cakap agamanya, keilmuannya dan strategi perangnya. Oleh sebab itu, semua pemimpin pasukan perang pasti menjadi imam shalat sekaligus menjadi mufti karena keutamaan agama dan kapasitas keilmuannya.

Pemimpin yang ditunjuk itu selalu membaca surah “Qul Huwallahu Aḥad” di rakaat kedua dalam salat berjamaah karena rasa cintanya kepada Allah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dan siapapun yang menyintai sesuatu pasti selalu ingat dan menyebutnya. Ketika kaum Muslimin kembali dari perang, mereka menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan melaporkan kebiasaan sang pemimpin. Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tanyakan kepadanya apa alasannya melakukan itu, apakah kebetulan saja ataukah ada alasan khusus?” Sang pemimpin menjawab, “Aku membacanya karena surah tersebut mengandung sifat-sifat Allah, sehingga aku senang mengulang-ulanginya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Beritahukan kepadanya, sebagaimana ia mengulang-ulang membaca surah tersebut karena kecintaannya -sebab surah ini mencakup sifat-sifat Allah yang otomatis menunjukkan nama-nama Allah di dalamnya- maka Allah menyintainya.” Alangkah besarnya keutamaan surah itu.

 

Pelajaran Hadits:

(1) Dibolehkannya membaca Qishar al-Mufashshal (surat-surat pendek dimulai dari surat al-Insyirah hingga surat an-Nas) di dalam shalat-shalat fardhu, tidak hanya dalam shalat Maghrib saja.

(2) Keutamaan Surat Al-Ikhlas dan keutamaan membacanya.

(3) Pengutamaan sebagian Al-Qur’an atas sebagian yang lain adalah karena di dalamnya terkandung pengagungan dan pujian kepada Allah. Surat yang mulia nan agung ini mencakup Tauhid al-I’tiqad wal Ma’rifah (Tauhid Rububiyah dan Tauhid Asma wa Shifat) dan apa yang wajib ditetapkan bagi Allah yaitu al-ahadiyah (keesaan) yang meniadakan sekutu bagiNya dan ash-shamadiyah (Tuhan yang bergantung kepadaNya segala sesuatu) yang menetapkan semua sifat kesempurnaan bagi Allah; dan peniadaan orang tua dan anak bagiNya, yang menjadi konsekuensi dari sifat mahakayaNya (tidak butuh kepada makhluk); dan peniadaan kesetaraan bagiNYa dimana tiada sesuatu pun yang sepertiNya. Karena itu, surat ini setara dengan sepertiga dari Al-Qur’an.

(4) Pahala suatu amal ditulis karena niat baik yang menyertainya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menanyakan niat mengulang-ulang membacanya.

(5) Pemangku kekuasaan dan kepemimpinan hendaknya harus dari orang yang berilmu, berbudi luhur dan beragama.

(6) Barang siapa yang mencintai sifat-sifat Allah dan merasakan manisnya munajat kepadaNya dengan bertawasul dengan sifat-sifatNya, maka Allah Ta’ala akan mencintainya. Karena balasan sebanding dengan jenis perbuatan.

(7) Melaporkan kepada pemimpin tertinggi (kepala pemerintahan, dll) tentang tindakan para pemimpin dan pegawai untuk tujuan perbaikan bukanlah fitnah atau namimah (adu domba).

(8) Disyariatkan mengirim pasukan untuk memerangi orang-orang kafir dan disyariatkan mengangkat pemimpin untuk mengomandoi mereka.

(9) Pemimpin mereka lebih berhak menjadi imam mereka dalam shalat, karena dialah pemilik otoritas atas mereka.

(10) Disyariatkan memverifikasi masalah sebelum memberikan keputusan, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Tanyakan kepadanya apa alasan dia melakukan itu?

(11) Penetapan sifat mahabbah (cinta) bagi Allah Ta’ala.

(12) Dibolehkan membaca dua surah atau lebih dalam satu rakaat.

(13) Diperbolehkan untuk memilih sebagian dari Al-Qur’an dengan memperbanyak membacanya

 

 
 

 

 

NGAJI JUM’AT 26 April 2024

Keutamaan Surat Al-Ikhlas

Sumber:

Mausu’ah Al-Ahadits An-Nabawiyah (Arabi-Indunisi), Jilid 1, Markaz Rawwad At-Tarjamah, Rabwah, KSA.

Hadits:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ رَجُلاً عَلَى سَرِيَّةٍ فَكَانَ يَقْرَأُ لأَصْحَابِهِ فِي صَلاتِهِمْ , فَيَخْتِمُ بـ ” قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ” فَلَمَّا رَجَعُوا ذَكَرُوا ذَلِكَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : سَلُوهُ لأَيِّ شَيْءٍ يَصنَع ذَلِكَ ؟ فَسَأَلُوهُ . فَقَالَ : لأَنَّهَا صِفَةُ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ , فَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أَقْرَأَ بِهَا . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَخْبِرُوهُ : أَنَّ اللهَ تَعَالَى يُحِبُّهُ

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus seorang sahabat untuk memimpin pasukan sariyah (perang yang tidak diikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam). Sahabat ini senantiasa mengimami shalat pasukannya dan mengakhiri bacaannya dengan (surah) Qul Huwallahu Ahad. Ketika kembali ke Madinah mereka melaporkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lantas beliau bersabda, “Tanyakan kepadanya apa alasan dia melakukan itu?” Maka mereka menanyakan kepadanya, lalu ia menjawab, “Karena di dalamnya terdapat sifat Allah dan aku senang membacanya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Beritahukan kepadanya bahwa Allah menyintainya.

Derajat hadits: Hadits shahih

Rawi Hadits: Muttafaqun ‘Alaihi (Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim rahimahumallah)

Sumber: Umdatul Ahkam, Al-Imam Al-Hafizh Abdul Ghani bin Abdul Wahid Al-Maqdisi rahimahullah (w. 600 H./1203 M.), Bab al-Qira’ah fish Shalah, No Hadits. 108.

Makna global:

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat salah seorang sahabat menjadi pemimpin ekspedisi untuk mengatur siasat perang dan memutuskan perkara di antara mereka agar tidak terjadi kekacauan dan kisruh. Beliau senantiasa memilih orang yang paling cakap agamanya, keilmuannya dan strategi perangnya. Oleh sebab itu, semua pemimpin pasukan perang pasti menjadi imam shalat sekaligus menjadi mufti karena keutamaan agama dan kapasitas keilmuannya.

Pemimpin yang ditunjuk itu selalu membaca surah “Qul Huwallahu Aḥad” di rakaat kedua dalam salat berjamaah karena rasa cintanya kepada Allah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dan siapapun yang menyintai sesuatu pasti selalu ingat dan menyebutnya. Ketika kaum Muslimin kembali dari perang, mereka menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan melaporkan kebiasaan sang pemimpin. Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tanyakan kepadanya apa alasannya melakukan itu, apakah kebetulan saja ataukah ada alasan khusus?” Sang pemimpin menjawab, “Aku membacanya karena surah tersebut mengandung sifat-sifat Allah, sehingga aku senang mengulang-ulanginya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Beritahukan kepadanya, sebagaimana ia mengulang-ulang membaca surah tersebut karena kecintaannya -sebab surah ini mencakup sifat-sifat Allah yang otomatis menunjukkan nama-nama Allah di dalamnya- maka Allah menyintainya.” Alangkah besarnya keutamaan surah itu.

 

Pelajaran Hadits:

(1) Dibolehkannya membaca Qishar al-Mufashshal (surat-surat pendek dimulai dari surat al-Insyirah hingga surat an-Nas) di dalam shalat-shalat fardhu, tidak hanya dalam shalat Maghrib saja.

(2) Keutamaan Surat Al-Ikhlas dan keutamaan membacanya.

(3) Pengutamaan sebagian Al-Qur’an atas sebagian yang lain adalah karena di dalamnya terkandung pengagungan dan pujian kepada Allah. Surat yang mulia nan agung ini mencakup Tauhid al-I’tiqad wal Ma’rifah (Tauhid Rububiyah dan Tauhid Asma wa Shifat) dan apa yang wajib ditetapkan bagi Allah yaitu al-ahadiyah (keesaan) yang meniadakan sekutu bagiNya dan ash-shamadiyah (Tuhan yang bergantung kepadaNya segala sesuatu) yang menetapkan semua sifat kesempurnaan bagi Allah; dan peniadaan orang tua dan anak bagiNya, yang menjadi konsekuensi dari sifat mahakayaNya (tidak butuh kepada makhluk); dan peniadaan kesetaraan bagiNYa dimana tiada sesuatu pun yang sepertiNya. Karena itu, surat ini setara dengan sepertiga dari Al-Qur’an.

(4) Pahala suatu amal ditulis karena niat baik yang menyertainya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menanyakan niat mengulang-ulang membacanya.

(5) Pemangku kekuasaan dan kepemimpinan hendaknya harus dari orang yang berilmu, berbudi luhur dan beragama.

(6) Barang siapa yang mencintai sifat-sifat Allah dan merasakan manisnya munajat kepadaNya dengan bertawasul dengan sifat-sifatNya, maka Allah Ta’ala akan mencintainya. Karena balasan sebanding dengan jenis perbuatan.

(7) Melaporkan kepada pemimpin tertinggi (kepala pemerintahan, dll) tentang tindakan para pemimpin dan pegawai untuk tujuan perbaikan bukanlah fitnah atau namimah (adu domba).

(8) Disyariatkan mengirim pasukan untuk memerangi orang-orang kafir dan disyariatkan mengangkat pemimpin untuk mengomandoi mereka.

(9) Pemimpin mereka lebih berhak menjadi imam mereka dalam shalat, karena dialah pemilik otoritas atas mereka.

(10) Disyariatkan memverifikasi masalah sebelum memberikan keputusan, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Tanyakan kepadanya apa alasan dia melakukan itu?

(11) Penetapan sifat mahabbah (cinta) bagi Allah Ta’ala.

(12) Dibolehkan membaca dua surah atau lebih dalam satu rakaat.

(13) Diperbolehkan untuk memilih sebagian dari Al-Qur’an dengan memperbanyak membacanya

 

 
 

 

 

NGAJI JUM’AT 03 Mei 2024

Manusia Adalah Saksi Atas Dirinya

Sumber:

50 Prinsip Pokok Ajaran Al-Qur’an, Dr Umar bin Abdullah Al-Muqbil.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

بَلِ الْإِنْسَانُ عَلَى نَفْسِهِ بَصِيرَةٌ (14) وَلَوْ أَلْقَى مَعَاذِيرَهُ (15)

“Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, dan meskipun dia mengemukakan alasan-alasan.” {Al-Qiyamah: 14-15}.

Ini adalah salah satu kaidah interaksi dengan jiwa, (At-Tahrir wa at-Tanwir, 29/348: “Dan kalimat ini telah menjadi peribahasa dikarenakan ringkasnya dan maknanya yang luas.”) dan salah satu sarana untuk mengobati dari penyakit-penyakitnya, dan pada waktu yang sama ia adalah tangga untuk menaiki tingkatan-tingkatan penyucian diri, karena Allah Ta’ala telah bersumpah sebanyak sebelas kali dalam surat asy-Syams dengan makna yang agung ini, kemudian Dia berfirman,

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى

“Sungguh beruntunglah orang yang membersihkan diri.” (Al-A’la: 14).

Makna Kaidah Ini Secara Ringkas:

Bahwa manusia, walaupun ia berusaha untuk membela dengan sengit perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataannya yang ia sendiri mengetahui kebatilan dan kesalahannya, dan ia beralasan dengan berbagai alasan dari dirinya, tapi ia sangat mengetahui apa yang dikatakan dan dilakukannya, walaupun ia berusaha menutupi (aib) dirinya di hadapan manusia, atau ia mengeluarkan berbagai alasan, maka tidak ada yang lebih bisa menyaksikan dan mengetahui apa yang ada dalam dirinya kecuali dirinya sendiri, sebagaimana dikatakan kepada manusia dalam sebuah sya’ir, “Engkau adalah hujjah yang melawan dirimu sendiri!”

Di Antara Bentuk-bentuk Aplikasi Kaidah Ini:

Kaidah al-Qur’an ini memiliki banyak medan aplikasi dalam realita hidup kita yang umum maupun khusus. Saya akan sebutkan sebagiannya, mudah-mudahan kita bisa mengambil manfaat darinya untuk meluruskan kesalahan-kesalahan kita dan membetulkan perilaku-perilaku kita yang tidak benar. Di antaranya:

(1) Dalam metode interaksi sebagian orang terhadap nash-nash Syariat:
Mungkin saja suatu nash yang jelas dan muhkam telah sampai kepada sebagian orang, yang mana tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama tentang kandungannya yang menunjukkan hukum wajib atau haram, atau dirinya telah merasa tenang dengan suatu hukum tertentu, tetapi walaupun demikian, Anda menemukan sebagian orang merasa keberatan dalam dirinya, dan ia berusaha untuk menemukan cara membela dirinya dari nash yang ini atau itu, karena ia tidak sesuai dengan hawa nafsunya!

Padahal tidak ada gunanya manusia terus berusaha menolak nash-nash dengan hatinya; karena manusia menjadi saksi atas dirinya sendiri, dan seharusnya keadaan orang Mukmin itu adalah sebagaimana yang difirmankan oleh Rabb kita ‘Azza wa Jalla,

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (wahai rasul) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa’: 65).

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata dalam kitabnya yang menyenangkan, Shaid al-Khathir,
“Maka sesuatu yang paling baik adalah memutus sebab-sebab fitnah, dan meninggalkan perbuatan mencari-cari keringanan dalam sesuatu yang dibolehkan, apabila hal itu mengandung kemungkinan dan mengantarkan kepada sesuatu yang tidak dibolehkan.” (Shaid al-Khathir, hal. 203-282). Demikian ucapan beliau.

(2) Di antara bidang-bidang pengaplikasian kaidah ini, dalam kaitan interaksi jiwa dengan jiwa:

Bahwasanya di antara manusia terdapat orang yang senang mengamati kesalahan-kesalahan dan aib-aib orang lain, dan ia tidak memperhatikan aib-aib dirinya sendiri, sebagaimana dikatakan oleh Qatadah rahimahullah dalam tafsirnya terhadap ayat ini, بَلِ الْإِنْسَانُ عَلَى نَفْسِهِ بَصِيرَةٌ “Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri”, “Yakni, apabila Anda ingin, demi Allah, Anda dapat melihatnya memperhatikan aib-aib dan dosa-dosa manusia, dan tidak memperhatikan dosa-dosanya sendiri.” (Tafsir ath-Thabari, 24/63.) Dan ini, tanpa diragukan lagi, termasuk di antara tanda-tanda kehinaan, sebagaimana dikatakan oleh Bakr bin Abdullah al-Muzani rahimahullah, “Apabila kalian melihat seseorang yang mengurusi aib-aib manusia, dan melupakan aib dirinya sendiri, maka ketahuilah bahwasanya dia telah terkena tipu daya.”

Dan oleh karena itu, salah seorang salaf berkata, “Kejujuran yang paling bermanfaat adalah engkau mengakui aib-aib dirimu kepada Allah.” (Hilyah al-Auliya’, 9/282).

1) Dan di antara bidang-bidang aplikasi kaidah kedua ini:

Bahwasanya Anda melihat sebagian manusia mendebat dirinya sendiri dalam sebagian tempat, di mana kesalahannya telah terlihat jelas, dengan apa yang diketahuinya dalam ketetapan dirinya bahwa dia tidak sesuai dengan kebenaran, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam komentar beliau terhadap ayat ini, بَلِ الْإِنْسَانُ عَلَى نَفْسِهِ بَصِيرَةٌ (14) وَلَوْ أَلْقَى مَعَاذِيرَهُ (15) “Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya,” “Sesungguhnya seseorang mengemukakan alasan dari dirinya dengan berbagai alasan dan mendebat membelanya, padahal dia melihatnya kebalikan dari hal itu.” (Majmu’ al-Fatawa, 14/445).

2) Di antara makna-makna yang ditunjukkan oleh kaidah kedua yang mulia ini:

Seseorang berusaha mencari-cari aib-aib dirinya, dan berusaha untuk berlepas diri darinya sebatas kemampuannya, karena ini merupakan salah satu jenis jihad melawan diri yang terpuji, dan dia tidak cenderung kepada aib-aib dan kesalahan-kesalahan yang ada pada dirinya, dengan alasan bahwa dia tumbuh di atas akhlak ini atau itu, atau dia telah terbiasa dengan hal itu, karena tidak ada seorang pun dari manusia yang lebih mengetahui tentang dirimu, aib-aib, kesalahan-kesalahan, dosa-dosa diri(mu), dan akhlak-akhlak (tercela) yang disembunyikannya, daripada dirimu sendiri.

Terdapat teladan yang bercahaya dari kehidupan Imam Ibnu Hazm rahimahullah, di mana beliau berkata dalam menetapkan makna ini, “Dahulu dalam diriku terdapat beberapa aib, maka aku senantiasa melatih diri dan menelaah apa yang dikatakan oleh para nabi –semoga shalawat Allah tercurah kepada mereka– dan orang-orang yang terhormat dari kalangan orang-orang yang datang belakangan dan para pendahulu, dalam akhlak dan adab-adab diri, aku menderita dalam mengobatinya, sehingga akhirnya Allah Ta’ala menolongku mengalahkan kebanyakan dari hal itu dengan taufik dan anugerahNya, dan kesempurnaan keadilan(Nya), lalu melatih diri, dan bertindak dengan mengungkapkan fakta-fakta ini sebagai pengakuan terhadapnya, agar seorang yang ingin mengambil pelajaran dapat mengambil pelajaran dengan hal itu suatu hari nanti insya Allah.” (Rasa’il Ibnu Hazm, 1/354).

Kemudian Imam Ibnu Hazm rahimahullah memaparkan sejumlah aib yang dahulu terdapat dalam diri beliau, dan bagaimana beliau berusaha untuk mengalahkannya, dan ukuran apa yang berhasil padanya secara total dan apa yang berhasil padanya secara relatif.

3) Di antara segi-segi seorang Mukmin mengambil manfaat dari kaidah kedua ini:

Bahwa manusia selama dia mengetahui bahwa dia lebih mengetahui tentang dirinya sendiri daripada orang lain, maka dia harus bersikap cerdas, karena manusia boleh jadi akan memujinya pada suatu hari tertentu, bahkan terkadang berlebihan dalam hal itu, dan sebaliknya terkadang juga dia mendengar pada suatu hari ada orang yang mengecilkan kedudukannya, atau mengurangi martabatnya dengan suatu jenis kezhaliman dan perbuatan melampaui batas, maka barangsiapa yang mengenal dirinya, niscaya dia tidak akan tertipu oleh (adanya) pujian terhadapnya dengan sesuatu yang tidak ada pada dirinya, dan dia tidak pula akan merasa terganggu dengan (adanya) celaan terhadap dirinya dengan sesuatu yang tidak ada pada dirinya, bahkan dia akan mengambil manfaat dari hal itu dengan meluruskan kesalahan-kesalahan yang terdapat pada dirinya, dan berusaha untuk menyempurnakan dirinya dengan berbagai macam kesempurnaan manusia, sebatas kemampuannya.

Dan Di Antara Bidang-bidang yang Paling Mulia untuk Mengaplikasikan Kaidah Ini:
Bahwa salah satu di antara buah dari pengetahuan tentang diri adalah: manusia diberi taufik untuk mengakui dosa dan kesalahan, dan ini adalah kedudukan para nabi, shiddiqin, dan orang-orang shalih.

Maka renungkanlah perkataan kedua nenek moyang kita, tatkala keduanya telah memakan sesuatu dari pohon (yang terlarang) itu,

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Keduanya berkata, ‘Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi’.” (Al-A’raf: 23).

Juga perkataan Nabi Musa ‘alaihissalam, saat sambil menyesal atas pembunuhan beliau terhadap orang Qibthi,

قَالَ رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي فَغَفَرَ لَهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Musa berdoa, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri, karena itu ampunilah aku.’ Maka Allah mengampuninya, sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Qashash: 16).

Dalam suatu rangkaian yang akhirnya adalah, apa yang ditetapkan oleh al-Qur’an tentang kaum munafik yang mengakui dosa-dosa mereka, sehingga mereka selamat dan diterima taubat mereka, Allah Ta’ala berfirman,

وَآخَرُونَ اعْتَرَفُوا بِذُنُوبِهِمْ خَلَطُوا عَمَلًا صَالِحًا وَآخَرَ سَيِّئًا عَسَى اللَّهُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (At-Taubah: 102).

“Dengan ini diketahui bahwa barangsiapa yang tidak mengakui dosanya, maka dia termasuk di antara kaum munafik.” (Ash-Sharim al-Maslul, 1/362).

Akhirnya, kita memohon kepada Allah agar Dia membuat kita bisa melihat aib-aib kita, dan menjaga kita dari keburukannya.

 
 

 

 

NGAJI JUM’AT 10 Mei 2024

Adab Seorang Khatib

Sumber:

Panduan Lengkap dan Praktis Adab & Akhlak Islami Berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, Majid Sa’ud al-Ausyan, Darul Haq, Cetakan  VI, Dzulhijjah 1440 H. (08. 2019 M.)
.

Adab-adab Seorang Khatib

1- Berkhutbah dengan berdiri di mimbar.[1]

2- Mengucapkan salam kepada makmum apabila telah naik mimbar dan menghadap mereka dengan wajahnya.[2]

3- Duduk di mimbar setelah naik sebelum memulai khutbah.

4- Berkhutbah dengan berdiri, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanadnya,

سُئِلَ عَبْدُ اللّٰهِ: أَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ قَائِمًا أَوْ قَاعِدًا؟ فَقَالَ: أَمَا تَقْرَأُ: “وَتَرَكُوكَ قَائِمًا”؟

“Abdullah (bin Mas’ud) pernah ditanya, ‘Apakah Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ berkhutbah dalam keadaan berdiri atau duduk?’ Maka dia menjawab, ‘Apakah kamu tidak pernah membaca (Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ), Dan mereka meninggalkanmu dalam keadaan berdiri (berkhutbah)’?”[3]

5- Bersandar pada sebilah tongkat atau busur panah.[4]

6- Mengeraskan suara dan benar-benar menampakkan keagungan khutbah.

7- Di antara petunjuk Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ adalah membaca Surat Qaf dalam khutbah. Dari Binti[5] al-Harits bin an-Nu’man رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ , beliau berkata,

مَا حَفِظْتُ { قَ}  إِلَّا مِنْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ بِهَا كُلَّ جُمُعَةٍ

“Tidaklah aku menghafal Surat Qaf melainkan dari mulut Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (sendiri), di mana beliau berkhutbah dengan (membaca)nya setiap Jum’at.”[6]

 

Keterangan:

[1]  Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits no. 918 yang menyebutkan,

وَكَانَ مِنْبَرُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَصِيْرًا، إِنَّمَا هُوَ ثَلَاثُ دَرَجَاتٍ

“Dahulu mimbar Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ pendek saja. Ia hanya tiga anak tangga.” Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, 1/268; Abu Dawud, no. 353; al-Hakim, 1/280; dan Ibnu Khuzaimah, 3/127.

[2] Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf, dari Ibnu Juraij dari Atha’, 1/192.

[3] Al-Jumu’ah: 11.

[4] Dihasankan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 971.

[5] (Yaitu Ummu Hisyam, Ed.T.).

[6] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 872; dan Ibnu al-Mundzir dalam al-Ausath, no. 1802.

 

 
 

 

 

NGAJI JUM’AT 17 Mei 2024

Petunjuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di Hari Jum’at

Sumber:

Panduan Lengkap dan Praktis Adab & Akhlak Islami Berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, Majid Sa’ud al-Ausyan, Darul Haq, Cetakan  VI, Dzulhijjah 1440 H. (08. 2019 M.)


Petunjuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di Hari Jum’at

 (1) Haram puasa Hari Jum’at tersendiri. (Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda),

إِنَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ يَوْمُ عِيْدٍ، فَلَا تَجْعَلُوْا يَوْمَ عِيْدِكُمْ يَوْمَ صِيَامِكُمْ، إِلَّا أَنْ تَصُوْمُوْا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ

“Sesungguhnya Hari Jum’at adalah hari raya, maka janganlah kalian menjadikan hari raya kalian sebagai hari berpuasa kalian, kecuali jika kalian berpuasa sebelumnya atau setelahnya.”[1]

(2) Makruh mengkhususkan malam Jum’at untuk Qiyamul Lail (shalat sunnah malam); berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

… لَا تَخْتَصُّوْا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِي

“Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum’at dengan shalat sunnah malam di antara malam-malam lain….”[2]

(3) Membaca Surat Alif Lam Mim Tanzil (as-Sajdah) dan Surat al-Insan [setelah al-Fatihah] dalam Shalat Shubuh Hari Jum’at. [3]

(4) Memperbanyak membaca shalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di Hari Jum’at.[4]

(5) Membaca Surat al-Kahfi pada malam Jum’at dan Hari Jum’at; barangsiapa yang membacanya, maka cahaya (Surat al-Kahfi) itu akan menyinarinya antara dirinya dengan rumah tua (Ka’bah).[5]

(6) Para ulama berbeda pendapat dalam masalah mandi Jum’at; ada yang berpendapat wajib[6] dan ada yang berpendapat sunnah[7]. Dan hendaklah seorang Muslim mandi demi meraih keutamaan dan demi menghindari perbedaan pendapat tersebut.

(7) Mengkhususkan pakaian untuk Shalat Jum’at. Diriwayatkan dari Abdullah bin Salam radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda di mimbar pada Hari Jum’at,

مَا عَلَى أَحَدِكُمْ لَوِ اشْتَرَى ثَوْبَيْنِ لِيَوْمِ الْجُمُعَةِ سِوَى ثَوْبِ مِهْنَتِهِ

“Tidaklah ada beban (dunia) atas seseorang dari kalian, kalau dia membeli dua pakaian (yang salah satunya) untuk (dia pakai) Hari Jum’at selain pakaian kerjanya.”[8]

(8) Disunnahkan berangkat pagi-pagi ke Shalat Jum’at, disertai dengan mandi terlebih dahulu, mengenakan minyak wangi, dan bersiwak. Dari Aus bin Aus, beliau berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ غَسَّلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاغْتَسَلَ، ثُمَّ بَكَّرَ وَابْتَكَرَ وَمَشَى وَلَمْ يَرْكَبْ، وَدَنَا مِنَ الْإِمَامِ، فَاسْتَمَعَ وَلَمْ يَلْغُ، كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ [عَمَلُ] سَنَةٍ [أَجْرُ] صِيَامِهَا وَقِيَامِهَا

“Barangsiapa yang keramas pada Hari Jum’at dan mandi (secara total), kemudian berangkat di awal waktu dan mendapatkan awal khutbah, dia berjalan kaki dan tidak berkendara, (mengambil tempat duduk) dekat dengan imam lalu menyimak serta tidak berbuat sia-sia, maka dengan setiap langkahnya dia mendapatkan pahala satu tahun (lengkap dengan) pahala puasa dan shalat sunnah malamnya.”[9],[10]

(9) Di Hari Jum’at terdapat suatu waktu untuk terkabulnya doa, dan berdasarkan pendapat mayoritas as-Salaf, waktu tersebut adalah di akhir waktu setelah Ashar, dan inilah yang ditunjukkan oleh kebanyakan hadits-hadits (yang ada mengenai ini)[11], tetapi ada juga yang berpendapat bahwa waktu tersebut adalah di antara duduknya imam di mimbar dengan usainya Shalat Jum’at.

(10) Diam apabila imam telah mulai menyampaikan khutbahnya. Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,

إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ: أَنْصِتْ، وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ، فَقَدْ لَغَوْتَ

“Apabila engkau mengatakan kepada temanmu pada Hari Jum’at, ‘Diam,’ sementara imam sedang berkhutbah, maka sungguh engkau telah berbuat sia-sia.”[12]

Dan yang lebih utama adalah tidak berbicara setelah imam turun dari mimbar dan sebelum shalat (didirikan) kecuali untuk suatu hajat; berdasarkan hadits Salman,

… وَيُنْصِتُ حَتَّى يَقْضِيَ صَلَاتَهُ

“… dan diam hingga dia menyelesaikan shalatnya.”[13]

(11) Disunnahkan bagi orang yang shalat, apabila mengantuk berat, sedangkan dia berada di suatu tempat dari masjid, untuk berpindah ke tempat lain.[14]

(12) Tidak melangkahi pundak orang lain.

(13) Sebelum (shalat) Jum’at, tidak ada shalat sunnah yang dibatasi dengan waktu yang ditentukan kadarnya dengan jumlah rakaat tertentu; karena shalat sunnah seperti itu haruslah tsabit (ditetapkan) berdasarkan sabda atau perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sementara beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyunnahkan sesuatu mengenai itu. Sedangkan mengenai shalat sunnah setelah Jum’at, maka Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah berkata dalam Zad al-Ma’ad, “Dan dahulu apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah usai Shalat Jum’at, maka beliau masuk ke dalam rumah beliau, lalu shalat dua rakaat sunnah ba’diyah Jum’at[15], dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan orang yang telah shalat Jum’at untuk shalat sunnah setelahnya empat rakaat.[16] Guru kami, Abu al-Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, ‘Jika seseorang shalat sunnah ba’diyah Jum’at di masjid, maka hendaklah dia shalat empat rakaat, dan apabila dia shalat di rumahnya, maka hendaklah dia shalat dua rakaat’.”

(14) Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata mengenai petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat beliau dalam khutbah Jum’at, “Apabila beliau berkhutbah dalam keadaan berdiri pada Shalat Jum’at, maka para sahabat beliau mengitari beliau dengan pandangan wajah mereka tertuju kepada beliau, dan (sebaliknya) wajah beliau juga menghadap mereka saat khutbah.”

(15) Membaca Surat al-Jumu’ah dan Surat al-Munafiqun (usai al-Fatihah) dalam Shalat Jum’at, atau Surat al-A’la dan Surat al-Ghasyiyah, atau Surat al-Jumu’ah dan Surat al-Ghasyiyah.[17] Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Dan tidak disunnahkan membaca sebagian dari masing-masing surat tersebut, dan tidak pula membaca salah satunya dalam dua rakaat; karena yang seperti itu menyelisihi Sunnah.”[18]

(16) Disunnahkan tidur qailulah (siang hari) setelah Shalat Jum’at. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menganjurkan tidur qailulah ini, di mana beliau bersabda,

قِيْلُوْا فَإِنَّ الشَّيَاطِيْنَ لَا تَقِيْلُ

“Berusahalah kalian tidur qailulah karena sesungguhnya setan itu tidak tidur qailulah.”[19]

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga menentukan waktunya pada Hari Jum’at setelah shalat; berdasarkan hadits Anas radhiyallahu ‘anhu dia berkata,

كُنَّا نُبَكِّرُ بِالْجُمُعَةِ، وَنَقِيْلُ بَعْدَ الْجُمُعَةِ

“Kami biasa berangkat pagi menuju Shalat Jum’at, dan tidur qailulah setelah Shalat Jum’at.”[20]

(17) Boleh shalat di tengah hari pada Hari Jum’at, tetapi tidak pada semua hari lainnya; sebagaimana disebutkan dalam sejumlah hadits, (di antaranya),

ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ….

“… kemudian shalat apa yang ditakdirkan baginya (untuk bisa melakukannya)….”[21]

(18) Ancaman keras bagi orang yang meninggalkan Shalat Jum’at. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللّٰهُ عَلَى قُلُوْبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُوْنُنَّ مِنَ الْغَافِلِيْنَ

“Hendaklah orang-orang berhenti dari meninggalkan Shalat Jum’at, atau (kalau tidak) Allah benar-benar akan menutup hati mereka, kemudian mereka benar-benar akan menjadi orang-orang yang lalai.”[22]

 

Keterangan:

[1] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dan Syaikh Ahmad Syakir berkata, “Isnadnya Shahih.” [Al-Musnad, 15/175].

[2] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 1144.

[3] Zad al-Ma’ad fi Hadyi Khair al-Ibad, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Beirut: Mu`assasah ar-Risalah, 1415 H. 1/375. (Penerjemah menambahkan: Ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 891; dan Muslim, no. 880).

[4] Musnad Imam Ahmad, 4/8, dan sanadnya shahih. (Penerjemah menambahkan: terdapat dalil lain dari hadits Aus bin Aus radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan an-Nasa’i, no. 1374; Abu Dawud, no. 1047; dan Ibnu Majah, no. 1085, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, dan lainnya; serta lihat pula Shahih at-Targhib, no. 696).

[5] Sebagaimana yang diriwayatkan oleh ad-Darimi, no. 3283, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’.

[Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّوْرِ فِيْمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيْقِ

“Barangsiapa yang membaca Surat al-Kahfi pada malam Jum’at, maka dari cahaya (Surat al-Kahfi) itu akan menyinarinya antara dia dan rumah tua (Baitullah).” Ed.T.].

[6] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 877.

[7] Al-Albani membawakannya di Shahih an-Nasa`i, no. 1307.

[8] (Penerjemah berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 1078; dan Ibnu Majah, no. 1095: dari Abdullah bin Salam, dan dishahihkan oleh al-Albani).

[9] (Penerjemah berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, no. 6915 dan 15739; at-Tirmidzi, no. 496; an-Nasa`i, no. 1381 dan 1384; Abu Dawud, no. 345; Ibnu Majah, no. 1087. Dan hadits ini dishahihkan oleh al-Albani).

[10] Berangkat di awal waktu menuju Shalat Jum’at merupakan kebiasaan as-Salaf ash-Shalih, semoga Allah meridhai mereka semua, hingga Imam Abu Syamah berkata, “Di abad pertama biasa terlihat setelah fajar terbit, jalan-jalan penuh dengan orang-orang yang berjalan dengan obor-obor, dan penuh sesak, menuju masjid jami’ seperti pada hari Idul Fitri atau Idul Adha, hingga akhirnya semua itu telah punah (sekarang), karena itulah ada yang berkata bahwa bid’ah pertama yang dibuat-buat dalam Islam adalah meninggalkan berpagi-pagi menuju masjid jami’.”

[11] Sebagaimana yang diriwayatkan an-Nasa`i, (no. 1389, Pent.), dan dishahihkan oleh al-Albani, no. 1316.

[12] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 851.

[13] Diriwayatkan oleh an-Nasa`i,  no. 1330, dan dishahihkan oleh al-Albani.

[14] Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 532. (Diriwayatkan pula oleh Ahmad, no. 4727; dan Abu Dawud, no. 1119: dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dan dishahihkan oleh al-Albani. Pent.).

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,

إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَلْيَتَحَوَّلْ مِنْ مَجْلِسِهِ ذٰلِكَ

“Apabila seseorang dari kalian mengantuk (di masjid) pada Hari Jum’at, maka hendaklah dia berpindah dari tempat duduknya itu.”

[15] (Ini berdasarkan sejumlah hadits dan di antaranya adalah hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan al-Bukhari, no. 937 dan Muslim, no. 882. Pent.).

[16] (Berdasarkan hadits Abu Hurairah  yang diriwayatkan Muslim, no. 881. Pent.). Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمُ الْجُمُعَةَ فَلْيُصَلِّ بَعْدَهَا أَرْبَعًا

“Apabila salah seorang dari kalian telah selesai Shalat Jum’at, maka hendak-lah dia shalat empat rakaat sesudahnya.”

[17] Shahih Muslim, no. 877 dan 878.

[18] Zad al-Ma’ad fi Hadyi Khair al-Ibad, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Beirut: Mu`as-sasah ar-Risalah, 1415 H. 1/381.

[19] Shahih al-Jami’, no. 4431. (Penerjemah menambahkan: Al-Albani berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam ath-Thib, 12/1; dan dalam Akhbar Ashbahan, 1/195, 353 dan 2/69, dan al-Albani menghasankannya. Lihat ash-Shahihah, no. 1647).

[20] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 905.

[21] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 883.

[22] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 865.

 

 
 

 

 

NGAJI JUM’AT 24 Mei 2024

Adab-adab Berdoa

Sumber:

Panduan Lengkap dan Praktis Adab & Akhlak Islami Berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, Majid Sa’ud al-Ausyan, Darul Haq, Cetakan  VI, Dzulhijjah 1440 H. (08. 2019 M.)

 

Adab-adab Berdoa

(1) Memanjatkan pujian kepada Allah sebelum berdoa dan juga bershalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam; berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam,

كُلُّ دُعَاءٍ مَحْجُوْبٌ حَتَّى يُصَلِّيَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وسَلَّمَ

“Setiap doa itu terhalang (untuk dikabulkan oleh Allah), hingga (orang yang berdoa) bershalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.”[1]

(2) Mengakui dosa dan mengenal kesalahannya. Allah Ta’ala berfirman mengenai hambaNya, Nabi Yunus ‘alaihissalam,

أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ

“Bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) kecuali Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zhalim.” (Al-Anbiya’: 87).

(3) Menundukkan diri, khusyu’, penuh harap dan cemas. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik, dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” (Al-Anbiya’: 90).

(4) Hadirnya hati ketika berdoa, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

اُدْعُوا اللّٰهَ وَأَنْتُمْ مُوْقِنُوْنَ بِالْإِجَابَةِ، وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللّٰهَ لَا يَسْتَجِيْبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لَاهٍ

“Berdoalah kepada Allah dalam keadaan kalian penuh keyakinan akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwasanya Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai dan senda gurau.”[2]

(5) Memiliki hati yang kokoh dalam berdoa, dan tekad yang bulat dalam memohon; berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

لَا يَقُوْلَنَّ أَحَدُكُمْ: اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِيْ إِنْ شِئْتَ، اَللّٰهُمَّ ارْحَمْنِيْ إِنْ شِئْتَ؛ لِيَعْزِمِ الْمَسْأَلَةَ، فَإِنَّهُ لَا مُكْرِهَ لَهُ

“Janganlah seseorang dari kalian mengatakan, ‘Ya Allah, ampunilah aku jika Engkau berkehendak, ya Allah, rahmatilah aku jika Engkau berkehendak,’ hendaklah dia mengukuhkan permohonan, karena sesungguhnya tidak ada yang dapat memaksaNya.”[3]

(6) Meminta berulang-ulang dalam berdoa.

(7) Berdoa dalam segala keadaan, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَسْتَجِيْبَ اللّٰهُ لَهُ عِنْدَ الشَّدَائِدِ وَالْكُرَبِ فَلْيُكْثِرِ الدُّعَاءَ فِي الرَّخَاءِ

“Barangsiapa yang senang agar dijawab doanya oleh Allah ketika masa sulit dan bencana, maka hendaklah dia banyak berdoa ketika dalam keadaan lapang.”[4]

(8) Disunnahkan menyembunyikan doa. Allah Ta’ala berfirman,

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

“Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut (tersembunyi).” (Al-A’raf: 55).

(9) Menghindari mendoakan keburukan terhadap keluarga, harta, dan diri; berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

لَا تَدْعُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، وَلَا تَدْعُوْا عَلَى أَوْلَادِكُمْ، وَلَا تَدْعُوْا عَلَى أَمْوَالِكُمْ؛ لَا تُوَافِقُوْا مِنَ اللّٰهِ سَاعَةً يُسْأَلُ فِيْهَا عَطَاءٌ فَيَسْتَجِيْبُ لَكُمْ

“Janganlah kalian mendoakan keburukan terhadap diri kalian, janganlah kalian mendoakan keburukan terhadap anak-anak kalian, dan jangan pula kalian mendoakan keburukan terhadap harta kalian; jangan sampai kalian bertepatan dengan suatu waktu (yang dikabulkan) dari Allah di mana Dia dimohon suatu pemberian pada waktu tersebut, lalu Dia mengabulkan (permohonan) kalian.”[5]

(10) Mengulangi doa tiga kali; karena “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila berdoa, maka beliau berdoa tiga kali.”[6]

(11) Menghadap kiblat; berdasarkan hadits yang diriwayatkan al-Bukhari “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menghadap kiblat dan mendoakan keburukan terhadap (kafir) Quraisy.”[7]

(12) Mencari waktu-waktu terkabulnya doa, di antaranya: ketika sujud, di antara adzan dan iqamah, di akhir waktu pada (sore) Hari Jum’at.

(13) Mengangkat kedua tangan ketika berdoa; berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيِيٌّ كَرِيْمٌ يَسْتَحْيِي مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ

“Sesungguhnya Rabb kalian Yang Mahasuci lagi Mahatinggi Maha Pemalu dan Mahamulia, Dia malu kepada hambaNya apabila ham-baNya itu mengangkat kedua tangannya (memohon kepadaNya), lalu Dia mengembalikan kedua tangannya dalam keadaan kosong dan gagal.”[8]

Sedangkan di dalam mengusap wajah dengan kedua tangan dalam qunut witir dan lainnya ada hadits-hadits yang lemah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.”

(14) Berbakti kepada kedua orang tua adalah di antara sebab-sebab terkabulnya doa sebagaimana yang diisyaratkan dalam hadits kisah Uwais bin Amir al-Qarni[9], di mana dia adalah seorang yang penuh bakti kepada ibunya, begitu pula sebagaimana yang disebutkan dalam hadits tentang kisah tiga orang yang terjebak di dalam sebuah gua yang tertutup oleh sebongkah batu besar.[10]

(15) Memperbanyak amalan-amalan ibadah sunnah setelah yang wajib-wajib termasuk di antara sebab terkabulnya doa.[11]

(16) Melakukan suatu amal shalih sebelum berdoa.

(17) Disyariatkan bagi seorang Muslim untuk berwudhu sebelum berdoa, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam usai dari Perang Hunain, dan di dalamnya disebutkan,

فَدَعَا بِمَاءٍ فَتَوَضَّأَ، ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ، فَقَالَ: اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ [لِعُبَيْدٍ أَبِيْ عَامِرٍ]، وَرَأَيْتُ بَيَاضَ إِبْطَيْهِ

“… lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam meminta dibawakan air, lalu beliau berwudhu, kemudian beliau mengangkat kedua tangan beliau seraya berdoa, ‘Ya Allah ampunilah [Ubaid Abu Amir],’ dan aku melihat putih kedua ketiak beliau.”[12]

(18) Hendaklah tujuan seorang yang berdoa adalah suatu yang baik. Disebutkan tentang doa Nabi Musa ‘alaihissalam,

قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي (25) وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي (26) وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي (27) يَفْقَهُوا قَوْلِي (28) وَاجْعَلْ لِي وَزِيرًا مِنْ أَهْلِي (29) هَارُونَ أَخِي (30) اشْدُدْ بِهِ أَزْرِي (31) وَأَشْرِكْهُ فِي أَمْرِي (32) كَيْ نُسَبِّحَكَ كَثِيرًا (33) وَنَذْكُرَكَ كَثِيرًا (34) إِنَّكَ كُنْتَ بِنَا بَصِيرًا (35)

“Musa berkata, ‘Wahai Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku, dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, supaya kami banyak bertasbih kepadaMu, dan banyak mengingatMu. Sesungguhnya Engkau Maha Melihat (keadaan) kami’.” (Thaha: 25-35).

(19) Orang yang berdoa hendaklah menampakkan pengaduannya kepada Allah Ta’ala dan menunjukkan rasa butuhnya. Sungguh Allah Ta’ala telah berfirman tentang Nabi Ya’qub ‘alaihissalam yang berdoa,

إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

“Sesungguhnya hanya kepada Allah, aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tidak mengetahuinya.” (Yusuf: 86).

Allah Ta’ala juga berfirman tentang Nabi Ayyub ‘alaihissalam,

وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ

“Dan (ingatlah kisah) Ayyub, ketika dia menyeru Rabbnya, ‘(Wahai Rabbku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit, sedangkan Engkau adalah Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang.” (Al-Anbiya’: 83).

Disebutkan dalam doa Nabi Musa ‘alaihissalam,

رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ

“Wahai Rabbku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (Al-Qashash: 24).

(20) Memilih doa-doa yang mencakup banyak makna dan ucapan-ucapan yang bagus.

(21) Hendaklah orang yang berdoa memulai dengan dirinya, seperti,

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami….” (Al-Hasyr: 10),

[dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, dia berkata]

وَكَانَ الرَّسُوْلُ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وسَلَّمَ إِذَا ذَكَرَ أَحَدًا فَدَعَا لَهُ بَدَأَ بِنَفْسِهِ

“Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingat seseorang, lalu beliau mendoakan kebaikan untuknya, maka beliau memulai dari dirinya sendiri.”[13]

(22) Berdoa untuk saudaranya kaum Mukminin. Allah Ta’ala berfirman,

وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ

“Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang Mukmin laki-laki dan perempuan.” (Muhammad: 19).

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنِ اسْتَغْفَرَ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ كَتَبَ اللّٰهُ لَهُ بِكُلِّ مُؤْمِنٍ وَمُؤْمِنَةٍ حَسَنَةً

“Barangsiapa yang memohonkan ampunan bagi orang-orang Mukmin laki-laki dan perempuan, niscaya Allah menuliskan untuknya satu kebaikan dengan (doanya pada) setiap Mukmin laki-laki dan perempuan.”[14]

(23) Tidak memaksakan diri berdoa dengan bersajak.

(24) Berusaha melafalkan kalimat doa dengan fasih tanpa memaksakan diri.

(25) Berusaha memilih Nama atau Sifat Allah yang sesuai dengan keadaan doa yang dipanjatkan, seperti,

يَا رَحِيْمُ، ارْحَمْنِيْ

“Wahai Dzat Yang Maha Penyayang, limpahkanlah rahmat untukku.”

(26) Tidak menghalangi orang lain dari rahmat Allah dalam berdoa. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

قَامَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وسَلَّمَ فِيْ صَلَاةٍ وَقُمْنَا مَعَهُ، فَقَالَ أَعْرَابِيٌّ وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ: اَللّٰهُمَّ ارْحَمْنِيْ وَمُحَمَّدًا، وَلَا تَرْحَمْ مَعَنَا أَحَدًا. فَلَمَّا سَلَّمَ النَّبِيُّ  صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وسَلَّمَ قَالَ لِلْأَعْرَابِيِّ: لَقَدْ حَجَّرْتَ وَاسِعًا -يُرِيْدُ رَحْمَةَ اللّٰهِ-.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri mengerjakan suatu shalat, sementara kami shalat bersama beliau, lalu seorang Arab Badui (pedalaman) berkata (berdoa) dalam shalat, ‘Ya Allah, rahmatilah aku dan Nabi Muhammad, dan jangan Engkau rahmati seorang pun bersama kami.’ Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam salam, maka beliau bersabda kepada orang Arab Badui itu, ‘Sungguh engkau telah menghalangi (dari orang lain) sesuatu yang luas’ –beliau memaksudkan rahmat Allah–.”[15]

(27) Orang yang menyimak doa hendaklah mengucapkan, “amin (ya Allah, kabulkanlah)”.

(28) Memohon kepada Allah hajat yang besar maupun yang kecil; berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

سَلُوا اللّٰهَ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى الشِّسْعَ، فَإِنَّ اللّٰهَ [إِنْ] لَمْ يُيَسِّرْهُ لَمْ [يَتَيَسَّرْ]

“Mohonlah kepada Allah segala sesuatu, hingga (sekedar) tali sandal; karena sesungguhnya Allah Ta’ala  [jika] Dia tidak memudahkannya, niscaya sesuatu itu [tidak akan mudah].”[16]

(29) Hendaklah doa seseorang itu tidak mencakup sesuatu yang bersifat syirik.

(30) Tidak berdoa mengharapkan kematian.

(31) Tidak berdoa meminta disegerakannya hukuman (azab).

(32) Tidak berdoa memohon sesuatu yang mustahil, seperti memohon kekal di dunia.

(33) Tidak berdoa memohon sesuatu yang dia sendiri telah usai darinya.

(34) Tidak berdoa memohon sesuatu yang Syariat telah menunjukkan kemustahilannya, seperti memohon jangan sampai ada seorang Muslim pun yang masuk surga.

(35) Tidak berdoa dengan suatu dosa, seperti berdoa memohon agar seseorang menjadi pecandu minuman keras.

(36) Tidak berdoa yang mengandung pemutusan silaturahim, seperti memohon agar kesatuan kaum Muslimin tercerai-berai.

(37) Hendaklah imam tidak mengkhususkan dirinya dengan suatu doa, tanpa mengikutsertakan makmum.

(38) Hendaklah dia tidak meninggalkan adab-adab dalam berdoa, seperti mengatakan, “Wahai Tuhan anjing dan keledai”.

(39) Hendaklah dia tidak bertujuan rusak dengan doanya, seperti berdoa memohon harta dengan tujuan untuk berbuat maksiat.

(40) Hendaklah dia yakin akan dikabulkan Allah.

(41) Hendaklah orang yang berdoa itu tidak merinci doanya dengan rincian yang (sebenarnya) tidak lazim baginya.

(42) Tidak berdoa kepada Allah dengan menyebut suatu Nama Allah yang tidak ada dalam al-Qur’an maupun dalam as-Sunnah, seperti: (يَا سُلْطَانُ) “wahai Penguasa”, atau (يَا بُرْهَانُ) “Wahai Petunjuk”, atau (يَا حَنَّانُ) “Wahai Pengasih” dan lain sebagainya.

(43) Tidak berlebihan dalam mengeraskan suara.

(44) Tidak berdoa dengan, “Ya Allah, aku tidak memohon kepada-Mu untuk menolak ketetapan takdir, akan tetapi aku memohon kepadaMu sifat lembutMu padanya (ketetapan takdir tersebut).”

(45) Tidak mengaitkan doa dengan Kehendak Allah, (seperti mengatakan, ‘Ya Allah, ampunilah aku jika Engkau kehendaki’, atau ‘Berilah aku rizki jika Engkau berkenan’, dan semisalnya. Pent.).

 

Keterangan:

[1] Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath, dan dihasankan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’, no. 4523.

[2] Shahih at-Targhib, no. 1653. (Penerjemah menambahkan: Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 3479; dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dan dihasankan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, dan juga dalam Shahih at-Targhib sebagaimana yang diisyaratkan penulis. Hadits semakna juga diriwayatkan Imam Ahmad, no. 6617; dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhu, dan dinyatakan hasan lighairihi oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib, no. 1652).

[3] Shahih Sunan Abu Dawud, no. 1316. (Penerjemah menambahkan: Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 6339 dan 7477; Muslim, no. 2679, at-Tirmidzi, no. 3497; dan Abu Dawud, no. 1483: dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).

[4] As-Silsilah ash-Shahihah, no. 593. (Penerjemah menambahkan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 3382; dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dan dihasankan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi).

[5] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 3009.

[6] Diriwayatkan oleh Muslim, (no. 1719, Pent.), dan lihat as-Silsilah ash-Sha-hihah, no. 3472.

وَكَانَ إِذَا دَعَا دَعَا ثَلَاثًا وَإِذَا سَأَلَ سَأَلَ ثَلَاثًا

“Dahulu beliau apabila berdoa, maka beliau berdoa tiga kali, dan apabila meminta, maka beliau meminta tiga kali.”

[7] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 3960.

[8] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 1488, dan al-Albani rahimahullah berkata, “Sanad-nya shahih.” Lihat Shahih al-Jami’, no. 2070.

[9] Yang diriwayatkan oleh Muslim, no. 2542.

[10] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 5974; dan Muslim, no. 2743.

[11] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 6502.

[12] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 4323; dan Muslim, no. 2498.

[13] Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’, no. 4723.

[14] Dihasankan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’, no. 6026.

[15] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 6010.

[16] Diriwayatkan oleh Ibnu as-Sunni dalam Amal al-Yaum wa al-Lailah, no. 356, dan didhaifkan oleh al-Albani dalam as-Silsilah adh-Dha’ifah, no. 1362.

 

 
 

 

 

NGAJI JUM’AT 31 Mei 2024

DOA KESEMBUHAN KETIKA SEDANG SAKIT

Sumber:

Utsman berkata, “Lantas aku melakukan hal itu, maka Allah menyembuhkan penyakitku. Aku juga menyuruh keluargaku dan yang lainnya untuk melakukan hal yang sama.” (HR. Abu Dawud, no. 3891, Hadits shahih)

Siapa yang tidak pernah sakit? Setiap kita pasti pernah sakit. Bagi seorang mukmin, sakit bukanlah kehinaan. Tapi sebuah kemuliaan yang diberikan Allah. Karena sakit menjadi wasilah dihapusnya dosa-dosa seorang mukmin.

Namun demikian bukan berarti kita berdiam diri tidak berbuat apa-apa. Pasrah tidak berikhtiar sama sekali mencari sebab-sebab kesembuhan. Ini tentu pola pikir dan cara yang keliru. Bertentangan dengan petunjuk dan ajaran Nabi.

Selain ikhtiar mencari kesembuhan secara medis. Kita juga harus banyak-banyak membaca doa kesembuhan. Doa sendiri secara dzatnya adalah ibadah yang agung. Sehingga kondisi sakit pun tidak menjadi sebuah alasan kita rehat dari ibadah. Tapi kita tetap bisa meraih banyak pahala dengan ibadah yang satu ini. Di samping harapan kesembuhan dari sakitnya akan semakin terbuka lebar.

Dari Utsman bin Abi al-Ash, dia menceritakan bahwa Nabi datang menemui dirinya. Lalu dia berkata, “Saya sedang sakit dan hampir saja membuatku meninggal dunia.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Usaplah dengan tangan kananmu (bagian yang sakit) sebanyak tujuh kali dan baca:

أَعُوْذُ بِعِزَّةِ اللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ

A’UUDZU BI’IZZATILLAAH WA QUDRATIHI MIN SYARRI MAA A JIDU

“Aku berlindung dengan kemuliaan Allah dan kekuasaan-Nya dari keburukan yang aku rasakan.”

Utsman berkata, “Lantas aku melakukan hal itu, maka Allah menyembuhkan penyakitku. Aku juga menyuruh keluargaku dan yang lainnya untuk melakukan hal yang sama.” (HR. Abu Dawud, no. 3891, Hadits shahih)

 

 
 

 

 

NGAJI JUM’AT 7 Juni 2024

Keutamaan 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah

Sumber:

(Silsilah Alliqou as-Syahri, Fadlu ‘Asri dzil Hijjah)

Pada hari Sabtu, 8 Juni 2024 kita sudah berada pada Dzulhijjah 1445, yang 10 hari pertama dari bulan tersebut merupakan hari-hari yang paling utama di dunia ini.

Ibnu Abbas رَضِيَ اللهُ عَنْهُ berkata, Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda,

مَا الْعَمَلُ فِي أَيَّامٍ أَفْضَلَ مِنْهَا فِي هَذِهِ قَالُوا وَلَا الْجِهَادُ قَالَ وَلَا الْجِهَادُ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ

“Tiada amal ibadah di hari apapun yang lebih utama dari 10 hari ini, mereka bertanya, ‘tidak pula jihad?’ Rasulullah bersabda, ‘Tidak pula jihad, kecuali seseorang yang keluar mempertaruhkan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun.’” (HR. Al-Bukhari)

Dalam hadist yang lain Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ juga bersabda,

مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ، وَلا أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعَمَلُ فِيهِنَّ مِنْ أَيَّامِ الْعَشْرِ، فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ التَّسْبِيحَ، وَالتَّكْبِيرَ، وَالتَّهْلِيلَ

“Tiada hari-hari yang paling agung di sisi Allah dan dicintaiNya untuk beramal di dalamnya dari pada 10 hari (Dzulhijjah) ini, maka perbanyaklah tasbih, takbir, dan tahlil.” (HR. At-Thabrani)

Syeikh Muhammad shalih Al-Utsaimin berkata, “Berdasarkan hadist diatas saya menghimbau kepada saudara-saudara muslim untuk memanfaatkan kesempatan besar ini dan memperbanyak amal saleh di 10 hari pertama bulan Dzulhijjah. Seperti membaca Al-Qur’an, berdzikir dengan berbagai dzikir seperti takbir, tahlil, tahmid dan tasbih, bersedekah, berpuasa, dan bersungguh-sungguh untuk mengerjakan semua amalan baik.

“Namun sungguh mengherankan banyak dari manusia yg mereka lalai di 10 hari pertama bulan Dzulhijjah ini! Anda akan menemukan mereka bersungguh-sungguh dalam 10 hari di bulan Ramadhan, tetapi dalam 10 hari pertama bulan Dzulhijjah hampir mereka tidak membedakannya dengan hari-hari yang lainnya.

“Maka jika seseorang memperbanyak amal shalih selama sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah ini, sesungguhnya dia telah menghidupkan kembali Sunnah Nabi Shalallahu alaihi wa sallam.”

 

 
 

 

 

NGAJI JUM’AT 14 Juni 2024

ENAM PELAJARAN

Sumber:

(Bakar al-‘Abdani, 60 Faidatan Min Hadiitsi ‘Maa Min Ayyamin al-‘Amalu ash-Shalihu Fii Hinna Ahabbu Ilallahi Min Haadzihi al-Ayyami al-‘Asyr’)

Ibnu Abbas رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا berkata, Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda,

مَا مِنْ أَيَّامٍ اَلْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيْهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ فَقَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ؟ فَقَالَ رَسَوُلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ

“Tidak ada hari di mana amal shalih saat itu lebih dicintai Allah daripada hari-hari sepuluh ini.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, tidak juga jihad di jalan Allah?” Beliau menjawab, “Tidak juga jihad di jalan Allah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, lalu tidak kembali dengan membawa apa pun.” (Sunan at-Tirmidzi, no. 757)

Pelajaran:
Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari hadis Ibnu Abbas رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ini, di antaranya,

Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah seluruhnya merupakan hari-hari yang mulia dan utama. Amal shaleh pun lebih dicintai-Nya dan besar pahalanya.

Bahwa amal yang tidak lebih utama dapat menjadi lebih utama bila dilakukan di waktu yang utama, hingga dapat menjadi lebih utama daripada amal-amal yang utama karena keutamaan waktunya.

Bahwa hadis ini juga menunjukkan adanya pemberian nilai lebih pada sebagian waktu atas sebagian waktu yang lainnya. Seperti halnya dalam hal tempat (seperti Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى memberikan keutamaan tehadap Makkah dan Madinah atas tempat-tempat yang lainnya di seluruh penjuru dunia)

Dorongan untuk mengambil dan memanfaatkan kesempatan secara baik di hari-hari nan agung ini, dan bersegera untuk beramal, sebelum ajal tiba-tiba datang. Karena boleh jadi kesempatan semacam ini tak tergantikan.

Hendaknya bergembira dengan adanya musim-musim untuk memperbanyak melakukan ketaatan, karena hal tersebut akan semakin menguatkan hubungan antara seorang hamba dengan Dzat yang telah memberikan kesempatan kepadanya untuk hidup di musim-musim tersebut.

Hal ini juga merupakan pengingat bagi orang-orang yang belum mampu menunaikan ibadah haji di sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah ini agar mereka mengerahkan segenap kesungguhan untuk melakukan ketaatan dan menunaikan apa yang menjadi hak-hak Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى yang telah diketahuinya, serta bertekad kuat untuk mentaati-Nya, memperbanyak amal-amal shaleh untuk mengejar ketertinggalannya.

 

 
 

 

 

NGAJI JUM’AT 21 Juni 2024

TERIMALAH KETETUAN DENGAN PENUH KESABARAN

Sumber:

(Yusuf Abjik As-Susi, ‘Shafahat Min Akhbar Al-Anbiya Wa al-Ulama Wa Al-Auliya Wa Al-Hukama fi Ash-Shabri’…, hal. 40)

 

Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى berfirman,

وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ

“Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu.” (al-Baqarah: 216)

Terimalah ketentuan Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dengan penuh kesabaran pada apa yang telah ditetapkan-Nya dan mohonlah kelapangan.

Jika engkau menghimpun antara permohonan ampun, taubat dari dosa-dosa, sabar terhadap segenap ketetapan dan mohon kelapangan, maka engkau telah mengumpulkan tiga ragam ibadah yang masing-masing diberi pahala.

Janganlah engkau sia-siakan waktu dengan sesuatu yang tidak berguna dan janganlah engkau membuat muslihat dengan sangkaan bahwa engkau mampu mencegah apa yang sudah ditakdirkan,

وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ

“Dan jika Allah menimpakan suatu bencana kepadamu, tidak ada yang dapat menghilangkannya selain Dia.” (Al-An’am: 17)

 

 
 

 

 

NGAJI JUM’AT 28 Juni 2024

PENYANDARAN MENUNJUKAN KEMULIAAN

Sumber:

(Ibnu Rajab, Lathaif al-Ma’arif, hal. 81)

 

Abu Hurairah رَضِيَ اللهُ عَنْهُ berkata bahwa Rasulullah صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

“Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa di Bulan Allah al-Muharram dan shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim)

Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ menamakan Bulan Muharram dengan bulan Allah dan penyandarannya kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menunjukkan kemuliaan dan keutamaan bulan ini. Karena Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى tidak akan menyandarkan kepada-Nya kecuali makhluk pilihan-Nya.

Seperti Dia سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى menisbatkan Muhammad, Ibrahim, Ishaq, Ya’qub dan nabi-nabi yang lain kepada penghambaan-Nya. Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى juga menisbatkan kepada-Nya rumah-Nya (Baitullah) dan unta-Nya (Naqatullah).

Ketika bulan ini memiliki keistimewaan dengan disandarkannya kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى dan puasa adalah ibadah yang juga disandarkan kepada-Nya karena puasa adalah milik-Nya, maka pantaslah bulan yang disandarkan kepada Allah-سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى-ini mendapatkan keistimewaan tersendiri dengan amal yang juga disandarkan kepada-Nya, yakni puasa.

Main Office :

Jl. Radio Dalam Raya No. 7B
Kebayoran Baru – Jakarta Selatan
Jakarta 12140 – Indonesia
Phone : +6221 726 2000
Mail : info@jendelabaitullah.com Jendelatours

Kontak Kami

Apabila ada yang ditanyakan, silahkan hubungi kami melalui kontak di bawah ini.